Keesokan harinya, Delta terbangun dengan perasaan yang tak bisa ia definisikan. Ada yang berbeda. Tidak ada air mata yang menetes malam itu, tidak ada harapan yang dipendam terlalu dalam, dan tidak ada perasaan ingin melarikan diri. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya—perasaan yang tak bisa ia buang begitu saja. Ia tahu, malam kemarin adalah langkah pertama menuju sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.
Hari itu, Delta memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia menyusuri lorong rumah yang sunyi, menghindari tatapan kosong di dinding yang selalu mengingatkan pada sosok ibu yang hilang. Setiap langkahnya terasa berat, seperti menjejakkan kaki di atas pasir basah yang tak bisa bergerak cepat.
Ketika sampai di ruang tamu, ia melihat ayahnya duduk di sofa, menonton televisi. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, lebih lelah, seperti seseorang yang telah lama kehabisan energi untuk melawan hidup. Delta berdiri sejenak di ambang pintu, tak tahu apa yang harus ia katakan.
"Ayah," suaranya serak, seperti tidak biasa mengeluarkan kata-kata.
Ayahnya menoleh, dan ada sebersit kekecewaan di matanya—mungkin karena sudah terlalu lama mereka tidak berbicara lebih dari sekadar ucapan formal. "Kamu sudah sarapan?" tanya Darsa, tidak langsung menanggapi panggilan Delta.
Delta mengangguk pelan, tapi tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Ia kembali merasa terdiam. Tidak tahu harus mulai dari mana.
"Delta." Darsa melanjutkan, suara ayahnya lebih lembut dari yang Delta bayangkan, "Aku ... Aku tahu aku nggak banyak ada untuk kamu belakangan ini. Tapi aku nggak bisa terus seperti ini."
Delta terkejut. Kata-kata itu membuat dadanya sesak. Untuk pertama kalinya, ayahnya mengakui sesuatu yang tak pernah ia katakan—bahwa ia tahu tentang luka yang ada di antara mereka.