Pagi itu Delta merasa matanya lebih berat dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal, perasaan yang tidak bisa ia hilangkan meskipun ia sudah mencoba untuk mengabaikannya. Beberapa minggu berlalu sejak percakapan singkat dengan ayahnya yang terasa seperti titik balik dalam hubungan mereka. Namun, meskipun mereka mulai berbicara lagi, ada ketegangan yang belum bisa hilang begitu saja.
Delta tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau malah semakin bingung. Ia berusaha untuk menganggap semuanya berjalan normal, tetapi hatinya tetap terasa sepi. Keadaan rumah tidak pernah benar-benar berubah, meskipun ada sedikit cahaya yang mulai masuk. Ayahnya masih seperti dulu—terkadang tampak dekat, tetapi seringkali kembali menjadi sosok yang sulit dijangkau.
Di sekolah, Delta merasa terasing. Ia tidak punya banyak teman. Di mata teman-temannya, ia hanyalah gadis yang pendiam, yang sering kali tampak melamun, yang berjalan sendirian tanpa menghiraukan orang lain. Bahkan guru-gurunya sering memperhatikannya dengan tatapan cemas, seolah khawatir ada sesuatu yang sedang mengganggunya.
Namun, ada satu tempat yang selalu memberi sedikit kedamaian dalam kepalanya—perpustakaan. Setiap hari setelah sekolah, ia akan berlama-lama di sana. Buku-buku menjadi teman terbaiknya, lebih setia daripada apapun yang pernah ia temui. Delta sering menemukan dirinya tenggelam dalam dunia imajinasi yang jauh lebih cerah daripada dunia kenyataannya.
Hari itu, seperti biasa, Delta menuju perpustakaan sekolah setelah pelajaran terakhir. Ia tidak ingin kembali ke rumah terlalu cepat. Menurutnya, semakin lama ia berada di rumah, semakin banyak ia dihadapkan pada kenyataan yang sulit untuk diterima.
Ketika ia memasuki perpustakaan, ia melihat seorang siswa lain yang sedang duduk di meja pojok, tampak tenggelam dalam buku tebal yang ada di depannya. Delta tidak peduli siapa dia. Ia hanya ingin mencari sudut yang nyaman untuk duduk dan membuka buku yang sudah lama ia incar.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara yang familiar. Suara yang sudah lama tidak ia dengar, suara yang membuat hatinya berdebar. Suara ayahnya.
“Ada apa, Delta?”
Delta menoleh, terkejut melihat ayahnya berdiri di pintu perpustakaan. Wajah Darsa tampak sedikit cemas, seperti sedang mencari seseorang. Delta merasa aneh melihatnya di sana. Ayahnya tidak pernah datang ke sekolah, apalagi ke perpustakaan.
“Yah?” Delta mencoba menyembunyikan kekagetannya. “Kenapa ke sini?”
“Aku ingin berbicara denganmu,” jawab Darsa, suara berat namun ada kehangatan di dalamnya. “Ada hal yang perlu kutanyakan.”
Delta tidak tahu apa yang harus dijawab. Ia terdiam sejenak, melihat ayahnya yang berdiri di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara ayahnya memandangnya kali ini. Bukan hanya sekadar percakapan biasa—tapi seperti ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang perlu diselesaikan.