Hari itu hujan turun lagi, seperti biasanya. Delta merasa udara dingin menyentuh kulitnya saat ia berdiri di depan pintu rumah, menatap ke luar jendela. Hujan bukanlah hal yang baru bagi Delta. Ia sudah terbiasa dengan suara rintik hujan yang menenangkan sekaligus mengingatkan pada banyak kenangan. Namun, kali ini, hujan itu terasa berbeda. Hujan ini membawa serta perasaan yang tak terucapkan, perasaan yang mengendap dalam hati.
Pagi itu, ayahnya tidak pergi bekerja. Darsa masih berada di rumah, duduk di meja makan dengan secangkir kopi di depan matanya. Delta merasa aneh. Biasanya, ayahnya sudah berangkat kerja sebelum ia bangun. Namun, kali ini, Darsa tampak terjebak dalam pikirannya sendiri, seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Delta memilih untuk diam di ruang tamu, tidak tahu harus berkata apa. Walaupun beberapa hari terakhir mereka mulai berbicara lebih banyak, masih ada rasa canggung yang mengikat setiap percakapan. Keheningan itu terasa lebih berat dibandingkan sebelumnya.
"Delta," suara Darsa memecah keheningan. Delta menoleh. "Apa yang kau pikirkan belakangan ini?"
Delta tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingin mengatakan banyak hal, tetapi kata-kata itu terasa sulit untuk keluar. Ia hanya menggelengkan kepala pelan.
"Masih belum ada yang berubah, Yah," jawabnya akhirnya, suara itu lebih ringan dari yang ia harapkan. "Aku merasa... aku masih terlalu jauh darimu."
Darsa menatapnya, matanya tampak lelah. "Aku tahu, Delta. Aku tahu. Aku juga merasa seperti itu. Tapi kita harus mencoba, kan? Tidak ada yang bisa berubah kalau kita tidak berusaha."
Mata Delta menatap ayahnya. Ada kejujuran dalam kata-kata Darsa, meskipun hati Delta masih merasa ada tembok yang tidak bisa diterobos. Ayahnya berusaha, itu jelas. Namun, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia bisa melupakan semua luka yang sudah terlalu lama terpendam?
Delta mengangguk pelan, tetapi hatinya tetap terasa kosong. Keadaan rumah yang sunyi, percakapan yang jarang, dan rasa kehilangan yang tidak pernah benar-benar sembuh—semua itu mengendap dalam dirinya. Meskipun ada sedikit kedekatan yang mulai terjalin antara dirinya dan ayahnya, Delta tidak bisa sepenuhnya merasa nyaman. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas jalan yang penuh dengan serpihan kaca—setiap langkahnya terasa tajam dan membekas.
---
Minggu itu, Delta memutuskan untuk pergi ke makam ibunya.
Sudah beberapa minggu sejak ia terakhir kali mengunjungi makam ibunya, dan perasaan rindu itu semakin kuat. Ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang, dan hanya dengan berada di sana, di dekat ibunya, ia merasa sedikit lebih utuh.
Pagi itu, ia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi sendirian. Darsa, meskipun cemas, akhirnya mengangguk setuju. Delta tahu bahwa ayahnya lebih memilih jika ia tidak pergi sendirian, tetapi Delta merasa ini adalah sesuatu yang perlu ia lakukan sendiri.