"Ayah ...."
Suara parau Nila menggema pada pukul 4 dini hari. Ia berjalan sempoyongan keluar dari kamar sambil mengucek mata.
"Sudah bangun, Sayang? Hehe ... pagi sekali ...."
Ayah menyambut Nila dan menggendongnya ke dapur. Di sana Nila merasa hangat oleh hawa api dari tungku.
"Nila mau minum?"
Ayah menawarkan segelas air putih hangat dengan penuh semangat.
Nila menggeleng. Ia menjatuhkan kepalanya ke atas lutut.
"Mau makan?"
Kedua kalinya ayah menawarkan sesuatu. Dan kedua kali pula, Nila menggeleng.
Karena bingung, ayah berhenti bicara. Tatapannya sayu melihat Nila. Gadis kecilnya itu terlihat lesu. Berbeda dari biasanya.
"Ayah ...."
Tiba-tiba Nila sudah berdiri di sampingnya.
"Kenapa, Nak?"
"Masak apa?"
"Singkong. Nila suka, kan?"
"Mmm."
Ayah meraih Nila lalu mendudukkannya di atas dipan. Setelahnya ia mendekat pada tungku. Menyulut api. Kemudian memeriksa isi periuk.
"Sebentar lagi," batinnya.
Ia kembali kepada Nila. Gadis kecil itu menguap panjang.
"Nila tidur lagi ya, tuh masih ngantuk."
Nila tidak menjawab. Ia hanya membiarkan kepalanya terkatung-katung.
Ayah menghela napas. Mengibas tikar di atas dipan. Ia mengangkat Nila lalu membaringkannya. Dalam waktu sekejap, Nila kembali terlelap.
Ayah segera membereskan sisa pekerjaannya. Mencuci piring, mencuci pakaian, menyiapkan pakaian ganti untuk Nila.
Gerakan ayah sangat lincah. Setelah menyiapkan pakaian ganti, ia kembali berkutat di depan tungku.
Meniriskan singkong rebus yang sudah matang. Lalu menanak nasi.
Ayah menarik napas dalam-dalam. Kembali termenung memandang gadis kecilnya. Dalam cahaya remang pelita, ayah mengusap kedua pipinya yang basah.