"Bum ... bum, bum ..."
Nila membungkukkan badan memasang kuda-kuda. Berlari dengan kecepatan tinggi. Mengitari parit-parit kalang.
Tangannya lincah menggerakkan setir. Tubuhnya tak kalah lincah berlenggak-lenggok mengikuti. Ia tidak menyerah meskipun batang pisangnya kadang tersangkut di ujung kalang.
"Awas jatuh."
Ayah tidak berhenti mengingatkannya. Secara berkala matanya ikut mengawasi.
"Ayah, minum!"
Nila mengangkat tangan kanan dengan telapak terbuka. Dengan cepat ayah meninggalkan cangkul. Berlari kecil mengambilkan minuman untuknya.
"Sudah."
Nila menampakkan gigi. Puas setelah kerongkongannya basah. Ia kembali melanjutkan perjalanan dalam dunianya.
"Nggak main di pondok? Panas ni."
"Nggak."
Ayah menggeleng. Kembali mengayunkan cangkul.
"Hikkk ... hik ...."
Sebelas menit kemudian, ayah menghentikan ayunan cangkulnya. Matanya berkeliling mencari sumber suara.
Ia melompat melewati beberapa kalang. Di tepi kolam, Nila terisak menggenggam rerumputan.
Ayah cepat meraih tubuh Nila. Memeluk dan menepuk pelan pundaknya.
"Kan ayah bilang ... hati-hati."
"Wuaaa ...."
Nila mengencangkan tangisnya. Tidak terima dengan teguran ayah.
"Sudah. Jangan nangis. Anak ayah berani, kok."
"Wuaaaa ...."
"Ssttt ... mana yang sakit, ayah obati."
Nila berhenti menangis. Ia menunjukkan telapak tangannya.
"Fiuhhh ... sudah sembuh."
Ayah menyapu kepala Nila dengan lembut. Tersenyum menahan geli. Kolam 30 sentimeter ternyata berhasil membuat Nila sangat ketakutan.
Pandangannya kembali pada kalang yang belum selesai. Berharap pekerjaannya cepat selesai.
"Nila main di pondok ya. Ayah mau mencangkul, sebentar aja."
Nila menatap ayahnya beberapa menit. Sesudahnya ia mengangguk. Tanpa komando, ia berlari menuju ke pondok.
"Hati-hati ...."
Ayah mengingatkan Nila dari belakang. Ia menghela napas melihat tubuh gadis kecilnya yang basah.