Surat untuk Hujan

Tia Fathia Insani
Chapter #2

1. Temu

Hujan... duniaku sepertinya tidak lagi utuh.

* * *

Aku memandang langit yang tampak mendung. Awan-awan hitam mulai berarak, menutup terangnya cahaya lembut sang mentari.

Sekelilingku tampak sepi. Para penghuni sekolah sepertinya sudah pulang sedari tadi. Jam usang di tanganku bahkan sudah menunjukkan pukul 17.17 WIB. Itu artinya, bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lebih dari satu jam yang lalu.

"Baru pulang?"

Aku terkejut mendengar suara berat itu menyapa tepat di samping telingaku. Dan yang paling membuat jantungku serasa berhenti berdetak, adalah saat aku tersadar akan siapa seseorang yang baru saja bertanya dengan nada ramahnya itu.

Tubuhku seketika kaku. Bahkan untuk sekadar menoleh pun rasanya aku tidak sanggup. Aku sungguh tidak dapat berpikir jernih sekarang. Namun, aku sedikit merasa lega saat menyadari jika rambut panjangku terurai ke samping, menutup sebagian wajahku dari penglihatannya.

"Kamu pulang naik apa?" tanyanya lagi.

Aku tetap bungkam, enggan menjawab pertanyaannya. Sungguh, aku hanya ingin pulang dengan tenang. Aku tidak ingin perasaanku kembali berantakan seperti di hari-hari lalu.

"Kamu dijemput atau naik bus?"

Lagi dan lagi, pertanyaan ringan itu dengan mudahnya masuk ke dalam gendang telingaku. Tidakkah dia menyadari jika gadis di sampingnya ini sedang merasa tidak nyaman dengan kehadirannya?

Aku terus merutuki diriku yang hanya mampu terdiam membeku.

Inginku berlari pergi, menjauh dari seseorang di sampingku yang selalu saja berhasil mengacaukan benang-benang kusut di dalam kepalaku. Namun ternyata, di dekatnya aku seolah beku.

Dalam hati, aku juga terus menggumamkan doa-doa, berharap ada malaikat penolong yang bersedia melelehkan es yang membungkusku.

Aku sungguh sudah tidak tahan lagi. Aku benar-benar ingin berlari sejauh yang kubisa.

Ternyata dipertemukan dengan seseorang yang susah payah berusaha dilupakan itu rasanya menyebalkan.

Bisaku hanya menghindar, lalu mengubur perasaan-perasaan lama pada memori paling usang. Berharap tidak ada lagi kesempatan yang mampu membukanya kembali.

Tanganku sedari tadi terus meremas tali ransel, berusaha menghilangan gemetar yang sangat menyiksa.

Beruntungnya, beberapa menit kemudian doaku terkabul. Tuhan mengirim malaikat baik dalam bentuk bus yang berhenti tepat di hadapanku.

Lalu tanpa menoleh dan berkata sedikit pun, aku bergegas masuk ke dalam bus. Aku menghela napas lega sesaat setelah mendudukkan diri di kursi yang kosong.

Tuhan memang maha baik.

Namun, bahkan hingga aku menginjakkan kaki ke dalam rumah dan merebahkan diri di atas kasur, pikiranku tetap kacau.

Lihat selengkapnya