Beberapa hari kemudian. Mei kembali jatuh sakit. Kali ini semakin parah. Siapa coba yang tidak tau kabar itu. Hampir semua warga desa mengetahuinya. Keluarga besarnya berdatangan dan bahkan Surya. Menjenguk dan memberikan semangat untuk Mei hampir setiap harinya.
Sedangkan Karjo. Apa yang dia bisa buat kecuali berdoa. Untuk menjenguknya saja tidak berani, sebab takut ada salah paham. Lagian rumah sakit juga cukup jauh dari desa. Bahkan dari kantor posnya bekerja.
"Mbok, bagaiaman kabar Mei disana ?" Tanya Karjo di desa kepada Mbok Siti yang baru pulang dari rumah sakit untuk mengambil bekal ganti Mei.
"Alhamdulillah, sudah mendingan. Tapi dia masih harus rawat inap, karena masih belum sepenuhnya pulih." Jawab Mbok Siti. "Tumben nanyakan kabar Mei ?"
Ternyata Karjo membawa sebuah surat. Karjo menitipkannya kepada Mbok Siti untuk diberikan kepada Mei. Karjo harus membuat itu untuknya. Jika perbincangan tidak bisa menentu dan jumpa tidak bisa padu. Surat itu adalah perantara. “Jangan kasih tau siapa-siapa..”
Sesampainya Mbok Siti di rumah sakit. Para penjenguk sudah tidak ada. Dirumah sakit yang menemani Mei tinggal ibunya. "Non, ini ada surat dari Karjo." Berbisik Mbok Siti kepada Mei.
Datang lagi coretan kurir itu. Mei, justru malah terlihat senang. Tidak tau kenapa rasanya, seperti ada yang membangunkannya dari tidur panjang. Wajahnya yang tadinya pucat, sedikit menuai senyuman.
**
Mei, bagaimana kabarmu ?
Aku terpaksa membuat surat ini kembali untukmu. Ada sesuatu yang menggugah hatiku untuk membuatnya.