Seminggu yang lalu.
Seperti hari-hari biasa, Ikram selalu menjemput Nala sepulang mengajar. Bahkan Ikram akan datang sepuluh menit sebelum Nala selesai.
Petang itu. Dari jauh mata Nala menangkap sosok perempuan berjilbab yang sudah lama berteman dengan kakaknya. Tapi Nala cukup paham, meski tanpa pernyataan mereka punya rasa yang sama.
Namun wajah serius perempuan itu membuat Nala penasaran. Sengaja berjalan perlahan menuju tembok pagar, bersembunyi dan menguping obrolan mereka.
“Ikram, Bapak bilang aku harus segera membawa calon suami ke rumah. Kalau nggak, Bapak yang akan mencari calon suami untuk aku.”
Alis Ikram berkerut, menatap Dara dengan tatapan sendu.
“Dara … aku sangat menyukai kamu.”
Kalimat itu sebenarnya yang ingin didengar Dara. Perempuan butuh pernyataan. Meski ia tahu, tanpa bicara pun perhatian Ikram yang bilang kalau mereka punya rasa yang sama. Ia tersenyum.
“Tapi … aku ga bisa menikah, kalau Nala belum menikah.”
Senyum di bibir merah Dara memudar, berganti sendu.
“Jadi … aku harus menerima calon yang Bapak pilihkan untukku?”
Ikram tertunduk. Tak berdaya menatap wajah sendu Dara. Nyatanya, rasa cinta pada Dara tak lebih besar dari rasa sayang Ikram pada adiknya.
“Oke. Aku ngerti. Tapi … tolong ingat, aku … juga sangat menyukai kamu.”
Pada akhirnya cerita cinta yang baru saja dinyatakan, harus usai. Ikram dan Dara merasakan perih di hatinya. Keadaan sedang tidak berpihak pada mereka.
Namun, bukan hanya Ikram dan Dara yang merasakan perih. Ada Nala yang merasa paling teriris. Perih. Ia yang jadi penyebab cinta Ikram yang baru dinyatakan harus gugur saat itu juga.
Inginnya Nala tak menangis, tapi ini terlalu perih. Ia menghancurkan bahagia Ikram dan Dara.
Sejak saat itu, ia terus memikirkan solusi agar Ikram tak harus memikirkan dirinya lagi dan mulai memikirkan kehidupannya.
***
Petang ini terasa lebih sejuk. Semalam hujan turun membasahi bumi yang kering, tak menerima air dari langit beberapa minggu.
Di gerbang, ada pemandangan asing buat mata Nala. Sebuah motor metik besar dengan si pengendara yang mengenakan jaket kulit dan mobil Pajero mentereng dengan pemiliknya yang berdasi dengan setelan jas masih rapi.
Nala kenal keduanya. Satu, tentu saja Ikram, kakaknya. Dan yang satu, Ranggana, orang yang menolak perjodohan dengannya.
Nala berjalan, entah menuju siapa. Karena kedua orang itu menjatuhkan pandangan pada dirinya.
“Yuk!” ajak Ikram.
“Bisa bicara sebentar?”