Sehari setelah keputusan itu dibuat, Nala mulai merasakan cemas dalam hatinya. Menyesali satu hal yang harusnya ia lakukan kemarin. Malam itu, Nala mengadu pada Sang Penggenggam Takdir di sepertiga malam. Memohon ampun atas keegoisannya. Demi membereskan masalah, ia tak menceritakan aib masa lalunya. Jika kelak, aib ini menyakiti hati, ia harus ikhlas menerima.
Tepat saat doanya selesai, ditutup dengan untaian surat Al-Fatihah, getar ponselnya terdengar. Sedikit bertanya, siapa yang menelpon di jam ini?
Perlahan Nala berjalan meraih ponsel di nakas. Nomer tak dikenal. Nala ragu untuk menjawab. Tapi bisa jadi ini memang penting.
“Assalamu Alaikum …”
Terdengar suara serak memanggil nama Nala. Ia masih asing dengan suara ini, tapi sepertinya ia tahu siapa yang menelponnya.
***
Sebelum berangkat ke sekolah, Nala menceritakan yang ia dengar dari Rangga semalam. Bahwa Bu Ani kritis dan Rangga meminta pernikahannya disegerakan.
Wajah Pak Thohir dan Ikram selaras, cemas dan ingin mendebat.
“Pak, apa Bapak ridho jika aku segera menikah dengan Pak Rangga?”
Pak Thohir mendadak sendu. Hatinya terenyuh. Tak lama matanya basah.
“Bapak bukan tidak ridho. Bapak hanya khawatir, Nak. Bapak takut kamu belum sepenuhnya siap.”
Nala tersenyum dan berjalan ke arah Pak Thohir yang duduk di kursi ruang makan. Bersimpuh dengan senyum sendu yang berusaha meyakinkan sang ayah.
“Aku tau, Bapak sayang sama aku. Kalau Bapak terus takut, cemas, bagaimana aku bisa siap menghadapi hidup baru. Bapak cukup doakan aku. Ya?”
Pak Thohir menyeka air mata yang sulit surut. Ibunya ikut menitikan air mata. Ikram juga. Hanya saja ia pura-pura paling kuat. Baru di pelupuk mata saja, ia sudah seka air mata itu.
Bahkan di jalan, Ikram tak banyak bicara pada adiknya. Ia sama seperti Pak Thohir. Terlalu cemas. Tapi yang ibunya katakan ada benarnya. Nala harus bahagia dengan hidup yang baru.
“Tumben ga cerewet,” cibir Nala di jalan.
Tak ada jawaban dari Ikram.
“Bang … menurut Bang Ikram, apa aku pantas buat Pak Rangga?”
“Pertanyaannya terbalik. Apa dia pantas buat kamu,” jawab Ikram ketus.
“Tapi aku, kan … punya masa lalu …”
“Kamu itu permata. Ga ada yang bisa merubah permata, meskipun lumpur menutupinya. Kamu tetap berharga.”