Surat Yang Tak Terbalas

Lail Arrubiya
Chapter #7

Aroma Tandus

Ini seperti keajaiban. 

Kondisi kesehatan Bu Ani malam itu, membaik dengan drastis. Meski suaranya lemah, tapi alat bantu oksigen sudah bisa di lepas. Nafasnya stabil, hasil rekam jantungnya baik. 

Keluarga Nala tak bisa lama di Rumah Sakit. Segera pamit pada Bu Ani.

“Sehat, ya, Mbak yu. Kita harus sehat supaya bisa lihat cucu kita nanti,” ucap Bu Zainab, ibunya Nala, sedikit bergurau.

Nala dan Rangga mengantar keluarganya keluar ruangan.

Sebelum berpisah, Pak Thohir memberikan pelukan untuk putrinya. Berlinang air mata lagi. Seakan berat sekali melepas putri semata wayang untuk hidup dengan suaminya kini. 

“Jadi istri yang berbakti, ya, Nak,” ucap Pak Thohir dengan suara serak. “Baktimu sekarang ada pada suamimu.”

Nala tak bisa menahan tangisnya. Mengangguk dalam pelukan sang ayah. Selepas itu berpindah pada ibunya. Tangisnya belum usai. 

“Kamu masih bisa main ke rumah. Ga usah sedih, ya?” hibur sang ibu.

Kini giliran Ikram. Mata kakaknya sudah merah menahan tangis sedari tadi. Dia sama beratnya melepas Nala.

“Bang Ikram …” panggil Nala sendu. Meraih tangan Ikram dan menciumnya.

Mata Ikram justru beralih pada Rangga. Sorot mata tajam.

“Jaga Nala. Kalau kamu merasa ga mampu menjaganya, panggil aku.”

Rangga hanya mengangguk. Mengerti perasaan Ikram yang menyayangi adiknya.

Haru biru itu tak boleh berlangsung lama. Semakin lama mereka bicara, semakin banyak air mata yang jatuh. Pak Thohir mengajak keluarganya untuk segera pamit.

Nala berusaha menghentikan isaknya. Ia menarik nafas berulang kali. 

“Ayo, masuk,” ajak Rangga yang dibalas anggukan oleh Nala. 

Ini sudah larut. Bu Ani sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Baru bisa tidur setelah bicara dengan Nala. Meski Nala yang harus banyak bicara, namun itu menghibur keduanya. Penghiburan juga untuk Nala yang mendapat perhatian khusus dari mertuanya.

“Tidur, sudah malam,” ucap Rangga yang baru saja kembali dari luar setelah menerima telepon. “Kamu tidur di sofa, biar aku disini,” ujar Rangga seraya duduk di kusi dekat ranjang ibunya.

Nala hanya mengangguk.

Nala menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, tanpa membuka jilbabnya. Ini keadaan yang asing buat Nala. Ia tak bisa tidur. Matanya memang terpejam, tapi tidak tidur. 

Dari pejam mata yang tak rapat menutup, samar-samar Nala memperhatikan wajah Rangga yang hanya menatap wajah ibunya. 

Tatapan mata kosong dengan pikiran yang entah terbang kemana. Genggamannya tak lepas. Wajah Rangga tak seperti pengantin pada umumnya yang sumringah. Berantakan sekali untuk standar seorang pengantin.

Nama adalah doa. Ternyata itu benar. Ranggana Bhakti. Sepertinya, ia tumbuh menjadi anak yang benar-benar berbakti. Batin Nala.

Malam semakin larut. Sunyi sekali disini. Hanya menyisakan suara alat medis yang masih memantau detak jantung Bu Ani dan suara lembut mesin penyejuk ruangan. 

Tapi, Nala biasa bangun di jam ini. Untuk mengadu pada penggenggam takdir. Tas kecil yang ia bawa dari rumah, memang disiapkan untuk barang yang perlu dibawa lebih dulu. Salah satunya mushaf kecil yang tak mungkin ia lupakan untuk dibawa.

Lihat selengkapnya