Banyak yang perlu ditata ulang di kamar Rangga. Kamarnya luas, tapi Nala bingung dimana dia harus meletakan barang-barangnya. Koper besar berisi pakaian dan satu tas besar berisi keperluan kerja Nala sudah dibongkar. Tapi belum tahu mau diletakan dimana.
Nala mengitari sekitar. Ruangan ini tak di penuhi banyak barang. Sebuah meja kerja menarik perhatian Nala. Dokumen rapi tersusun di atas meja. Beberapa foto Rangga dan Bu Ani menghiasi meja. Nala meraih satu foto. Menatap lamat-lamat wajah Rangga versi remaja.
Nala masih ingin menatap foto itu, tapi dering ponselnya membuat Nala harus meletakan kembali foto itu. Rangga menelepon.
“Kamu …”
“Assalamu Alaikum,” sela Nala karena Rangga tak mengucap salam.
Rangga menjawab salam dengan suara datar.
“Kamu sudah merapikan barang-barang kamu?”
“Belum. Aku bingung …”
“Kamu boleh merubah apapun yang ada di kamarku. Kecuali benda-benda di dalam laci mejaku. Jangan merubah apapun. Bahkan jangan membuka laci mejaku tanpa izin!” tegas Rangga.
“Iya.”
“Oke. Kalau kamu mau ke Rumah Sakit, minta tolong Pak Soleh nganter lagi.”
“Iya.”
Nala tak punya kalimat yang pas selain iya, untuk menjawab ucapan Rangga yang sepertinya sangat terburu-buru untuk memutus obrolan.
Rangga tak bilang ada apa di dalam laci itu. Nala juga tak penasaran. Dia lebih memikirkan harus diletakan dimana barang-barang yang tadi pagi ia ambil dirumahnya.
Nala mulai menggeser baju-baju terlipat di lemari Rangga. Berusaha berbagi tempat untuk bajunya yang tak terlalu banyak. Beberapa gamis ia gantung di lemari satunya.
Ia menghela nafas begitu selesai membereskan baju. Masih ada tas besar berisi keperluan kerja dan lainya yang butuh tempat. Idealnya, keperluan pekerjaan ia letakan di meja kamar. Tapi ia ragu setelah mendengar ucapan Rangga, meski yang disebut hanya lacinya saja.
Nala melihat jam di nakas. Sudah pukul 11.30 WIB. Sebentar lagi dzuhur, ia harus bersiap ke Rumah Sakit lagi. Urusan barang yang belum beres, biarkan saja dulu. Bisa ia teruskan nanti.
Nala bersiap berangkat. Namun, sebelum melangkah keluar, ia mematut diri di depan cermin. Ia merasa harus sedikit merias wajahnya. Rangga akan ke rumah sakit juga. Malu-malu tersenyum menatap dirinya dalam cermin.
Cantik. Tapi tetap saja kamu bekas.
Suara menyeramkan itu membuat mata Nala terbelalak. Nafasnya mendadak berat. Ia berusaha mengacuhkan suara itu dan segera keluar kamar.
Sepanjang jalan, Nala seoalah perang dengan dirinya sendiri. Suara menyeramkan itu terus mengikutinya. Suara itu berasal dari palung hati Nala yang ketakutan. Tapi Nala punya perisai. Berusaha mengusir pikiran buruk itu dengan dzikir.
Sesampainya di Rumah Sakit.
Nala berusaha meyakinkan diri, semuanya sudah benar. Ia menghela nafas dalam sebelum membuka pintu. Namun, sebelum Nala menggenggam pegangan pintu, dari dalam Rangga yang lebih dulu membuka pintu.
“Nala,” seru Rangga seraya keluar dan sedikit menghalangi tubuh Nala agar tidak masuk dulu ke ruangan Bu Ani.
“Ada rekan kerja aku. Kamu bisa tunggu sebentar.”
Nala mengangguk dengan senyum getir. Segera menyingkir, menunggu rekan kerja Rangga selesai menjenguk Bu Ani. Nala pergi ke kantin Rumah Sakit yang sangat sepi. Hanya ada penjaga kantin saja dan kini dengan dirinya.