"Rangga, usia kita bukan usia remaja. Bukan seperti saat terakhir kali kita berpisah.”
Rangga cukup paham maksud ucapan Selda malam itu. Gadis tiga puluh tahun yang masih sangat cantik itu butuh kepastian dalam setiap pertemuan mereka kedepannya.
“Saat kita berpisah, sebelas tahun lalu, aku ga tahu kalau ternyata perasaan saat itu bukan sekedar perasaan remaja yang beranjak dewasa. Sampai saat ini, aku masih sendiri bukan hanya karena karier. Aku masih suka memikirkan kamu.”
Rangga tertunduk. Ia tahu perasaannya bersambut. Tapi bersamaan dengan statusnya yang terpaut pada gadis lain.
“Rangga … apa, kamu ga begitu? Perasaan kamu sudah berubah?”
Tentu saja perasaannya tak berubah. Ia berusaha memupuk perasaan yang selama ini ia kira bertepuk sebelah tangan. Bertahan hanya dengan memandang Selda di media cetak atau media online dari layar ponselnya.
“Rangga …” seru Selda.
“Selda … apa boleh kita begini? Di saat karier kamu sedang naik?”
Selda tersenyum manis.
“Ini Indonesia, Rangga. Model, selebritis atau profesi entertain apapun boleh go public soal pasangan mereka. Beda kalau aku merintis karier di Korea Selatan,” jawabnya di iringin senyum di akhir kalimatnya. “Aku masih bisa berkarir meski sudah menikah.”
Hati Rangga langsung berdesir. Entah karena kata menikah yang ditujukan Selda tertuju padanya atau karena justru ia sudah terikat kata menikah dengan gadis lain.
Nyatanya, serumit apapun perasaan itu, Rangga masih mau bertemu dengan Selda. Bahkan sepagi ini, dia rela menjemput Selda yang akan terbang ke Raja Ampat. Wajah kusut memikirkan kerumitan hatinya, seketikan berubah sumringah begitu bertemu Selda.
“Kamu ga akan kesiangan ke kantor kalau nganter aku dulu?” tanya Selda saat keduanya dalam perjalanan ke bandara.
“Kalau hanya nganter, ga masalah. Kecuali kamu minta aku ikut,” gurau Rangga.
“Kita harus ke sana bersama, lain waktu.”
Rangga hanya tersenyum. Berat untuk mengiyakan dengan statusnya sekarang.
“Berapa lama kamu disana?” Rangga mengalihkan topik.
“Seminggu. Kenapa? Kamu takut rindu kalau aku terlalu lama disana?”
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum. Jika perasaan ini terus tumbuh, bukan tidak mungkin rasa rindu itu akan memenuhi ruang di hati.
“Manager kamu dimana?” tanya Rangga saat mereka sudah sampai di bandara.
“Sebentar lagi dia datang. Kamu harus berangkat sekarang, kan?”
“Ga apa-apa aku tinggal sekarang?”
Selda meberi Rangga senyum manis yang mungkin akan sulit dilupakan oleh Rangga.
“Kamu masih sama. Terlalu khawatir kalau aku sendirian.”
Ya. Ada hal yang terasa kembali saat Rangga kembali bertemu Selda. Romantisme yang tak pernah ia berikan pada perempun manapun.
Seikat kecil bunga, ia berikan saat sampai di depan rumah Selda tadi. Hingga sekarang, erat digenggam Selda. Seakan tak akan pernah ia lepaskan meski seseorang memintanya. Karena ia merasa itu miliknya.
***
Sore hari.