Kursi di meja makan terisi lebih banyak sekarang. Ada Bu Ani, Rangga, Mina dan Nala. Sedari pagi Nala sudah beraktifitas di dapur bersama Mina, menyiapkan sarapan untuk semuanya.
“Kalian kapan libur kerja?” tanya Bu Ani saat Nala baru saja duduk di kursinya di samping Rangga.
“Hari Sabtu dan Minggu,” jawab Rangga.
“Maksud Ibu, kapan kalian bisa ambil cuti? Kalian ga ambil cuti menikah?”
Nala melirik pada Rangga yang tak melirik padanya.
“Pekerjaan aku masih banyak, Bu. Ga bisa ditinggal.”
“Setiap hari juga pekerjaan kamu banyak. Perusahaan apa yang tidak memberi hak cuti karyawannya?”
Rangga tak menjawab, apalagi Nala.
Tangan Rangga meraih air putih di sampingnya. Berusaha segera menyudahi obrolan tentang cuti ini. Ia merasa tahu ujung dari obrolan ini.
“Ibu rasa kalian harus bulan madu,” ucap Bu Ani.
Terlambat. Rangga berniat memotong obrolan dengan segera pamit tanpa sarapan.
“Ibu merasa bersalah karena kalian tidak sempat berlibur karena Ibu terlalu lama di Rumah Sakit.”
“Kami ga masalah, Bu. Iya, kan, Nala?” Rangga menatap Nala dengan sorot mata memberi isyarat.
Padahal tanpa diberi isyarat pun Nala mengerti. Ia mengangguk setuju.
“Tapi, kalau kalian ga liburan berdua, rasanya Ibu akan terus merasa bersalah.”
“Hmm … nanti saja, ya, Bu. Kita bicarakan lagi,” Rangga mulai mencari cela untuk menghindar. “Aku harus berangkat sekarang.”
“Loh, kamu ga berangkat bareng Nala?”
“Eh, itu … Nala diantar Pak Sholeh, kan?”
Bu Ani berdecak kesal.
“Pak Sholeh itu supir Ibu. Supir Nala, ya, kamu.”
“Tapi Nala baru berangkat setengah jam lagi, Bu. Aku harus berangkat sekarang.”
Wajah Bu Ani seperti tak menerima alasan Rangga.
“Bu, Mas Rangga sudah harus berangkat. Besok kalau dia ga harus berangkat pagi, aku dianterin, kok. Ya, kan, Mas?”
Kini giliran Nala yang menatap Rangga dengan sorot mata memberi isyarat. Dengan terpaksa mengangguk mengiyakan.
Rangga segera beranjak dan menyalami Ibunya. Demi terlihat harmonis sebagaimana pengantin baru pada umumnya, Nala ikut beranjak mengantar Rangga ke depan.
“Kamu ga perlu nganter aku,” tandas Rangga saat mereka sudah di teras depan.
“Kamu ga mau Ibu tahu kalau kita ga seperti pasangan suami istri pada umumnya, kan? Jadi, selama di depan keluargamu dan keluargaku, biarkan aku jadi istri yang semestinya. Setelah itu, terserah.”