Di kamar, Nala menahan semua rasa perihnya. Ia meneguhkan hati, bahwa selama ini cibiran tentang masa lalu itu sudah ia hadapi dan bisa ia lewati. Harusnya saat ini Nala pun bisa melewatinya.
Berkali-kali ia menahan tangis, beristigfar sembari membaringkan tubuh yang sudah berganti pakaian lengkap. Seperti biasanya, lengkap dengan jilbab instan yang menutupi rambutnya.
Pintu kamarnya terbuka. Dengan segera ia pejamkan mata. Berharap malam ini ia tak melihat Rangga dulu. Ia perlu menata hati.
Namun, dering ponsel membuat Nala terganggu. Ia berusaha tak menghiraukan, tapi ponselnya terus berdering. Membuat Rangga yang hendak masuk kamar mandi, terhenti.
“Angkat dulu,” serunya seakan tahu Nala belum tidur. Kemudian melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.
Nala membuka matanya. Percuma berpura-pura, Rangga sudah tahu ia sedang pura-pura.
Ia melihat nama Ikram di layar ponselnya. Beranjak duduk dan sedikit berdehem untuk mengusir suara sendunya.
“Assalamu Alaikum,” sapa Nala dengan suara di paksa ceria.
Ïkram mejawab salam dengan suara senada.
“Kamu baik-baik aja?”
Nala tersenyum, sedikit getir. Kenapa Ikram bertanya seperti itu di saat ia sedang tak baik-baik saja. Desakan perih yang sedari tadi ia tahan nyaris meledak.
“Baik. Sangat baik. Bang Ikram gimana?”
“Entahlah. Aku ngerasa sedikit gelisah. Kamu ga bohong, kan?”
Nala menelan ludah, tangisan siap meledak.
“Aku … baik, kok …”
Terdengar helaan nafas Ikram.
“Meskipun kamu udah nikah, kamu masih boleh cerita ke aku. Jangan memendam masalah sendirian. Aku masih abang kamu.”
Nyatanya Ikram memang peka. Bahkan saat mereka berjauhan. Ia memang tak melihat ekspresi Nala, tapi suara Nala menggambarkan perasaannya saat ini. Sekuat apapun ia menahan tangis, Ikram menyadarinya.
Ikram berdecak.
“Walau dia lebih tua dua tahun dari aku, sepertinya aku lebih dewasa. Usia memang bukan standar seseorang jadi dewasa. Biar aku bicara sama dia.”
“Mau bicara apa?” suara Nala masih tertahan.
“Apa aja yang bisa aku bicarakan. Dari suara kamu, kayaknya kamu habis nangis.”
“Nggak, kok. Ini salah aku. Aku … ga jujur … soal … “
Suara pintu kamar mandi yang terbuka menghentikan ucapan Nala.