Beberapa menit sudah Ikram dan Nala sampai di sebuah kedai kopi, menikmati es kopi dingin tanpa ada obrolan. Membiarkan semua sisa perih semalam kembali hadir di hatinya.
“Jadi, apa yang dia lakukan sama kamu?”
Nala menggeleng. Meletakan gelas es kopinya di atas meja.
“Soal kamu ga jujur?”
“Itu salah aku. Aku … diam-diam masih suka lihat akun boy band. Itu, loh, yang membernya orang Indonesia.” Nala berusaha bergurau. “Mas Rangga ga suka.”
Jelas Ikram tahu adiknya berbohong. Dia tahu, Nala sudah insyaf dari dunia Oppa Korea. Itu hanya alasan untuk menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya Ikram bisa duga, apa masalahnya.
“Setiap hari kamu pulang pergi sendiri? Ga di anter?”
“Sebenarnya ada Pak Sholeh, tapi khawatir Ibu kenapa-napa, jadi aku berangkat sendiri.”
“Dia ga nganter?”
“Dia … berangkat lebih pagi. Kerjaannya banyak.”
Ikram menghela nafas. Ia seperti sengaja menggali informasi tentang Rangga. Karena Nala tak banyak bicara.
“Bang Ikram tenang aja. Mas Rangga baik, kok. Dia memperlakukan aku dengan sangat lembut. Dia juga romantis ternyata.”
Nala memasang wajah meyakinkan dengan senyuman lebar.
“Sukurlah kalau dia memperlakukan kamu dengan baik.”
“Terus, Bang Ikram gimana?”
“Apanya?”
“Bang Ikram udah harus mulai memikirkan masa depan. Kapan mau cari teman hidup?”
Ikram terkekeh.
“Kamu jadi kayak Ibu, nanya-nanya kapan mau nikah. Aku lagi merintis usaha, santai aja.”
“Merintis sambil berumah tangga, kan, bisa.”
Ikram kembali terkekeh.
“Mentang-mentang udah nikah, mulai ngatur-ngatur, ya?”
Kini giliran Nala yang terkekeh.
“Iya, dong. Bang Ikram udah ga perlu mikirin kehidupan aku. Aku udah ada yang jagain, kebutuhan aku udah dipenuhi sama suami aku. Dan, Bang Ikram tau … aku … ga merasa takut saat Mas Rangga pegang tangan aku. Aku rasa, itu seperti terapi paling manjur.”