Nala kembali dengan mata sembab yang tak bisa ia tutupi. Rangga menyadari itu meski hanya sekilas melihatnya. Perempuan itu mendekat memberi senyuman.
“Kenapa belum tidur?”
“Kamu ga perlu pura-pura melayani aku. Disini ga ada siapa-siapa,” ucap Rangga.
“Pura-pura? Bagian mana yang menurut kamu, aku sedang berpura-pura?”
Rangga tak menjawab.
“Semua yang aku lakukan terhadap kamu bukan pura-pura. Aku ingin melayani kamu layaknya seorang istri. Kalau kamu izinkan, aku juga mau merawat kamu selama kamu belum bisa beraktifitas normal.”
“Ga perlu. Kita akan tetap seperti biasanya.”
“Lalu siapa yang akan merawat kamu? Selda Lestari? Aku rasa, dia bahkan ga akan mau menemui kamu beberapa hari ini. Apalagi merawat kamu di rumah. Ga mungkin, kan?”
Rangga hanya menghela nafas berat, kemudian berusaha membaringkan tubuhnya.
Nala tahu Rangga tak ingin dibantu. Meski meringis menahan sakit, ia berhasil membaringkan tubuhnya. Inginnya berbalik ke arah kanan, tapi tangan kanannya tak bisa di tekuk. Terpaksa berbaring terlentang, dengan lengan kiri yang menutupi matanya.
Malam ini terasa sangat panjang untuk Nala. Ia tak bisa tidur dengan lelap. Ringisan Rangga selalu membuatnya terbangun. Bahkan ia memberanikan diri tidur di kursi samping ranjang pasien. Demi menenangkan Rangga yang kesakitan.
Saat Rangga mulai lelap tertidur, Nala tetap melaksanakan ritual sepertiga malamnya. Kali ini doanya bertambah. Minta kesembuhan sang suami. Yang lainnya tetap sama, minta agar hati Rangga bisa menerimanya.
Masih dengan mukena pemberian Rangga sebagai mas kawinnya, Nala duduk menghampiri Rangga. Menatap wajah Rangga yang terlelap. Rambutnya menutupi kening. Tangan Nala menyekanya ke pinggir, perlahan dengan lembut agar tak membangunkan suaminya.
Hampir dua bulan ia menikah dengan Rangga, tapi baru kali ini dia bisa menatap suaminya dengan lekat, bahkan leluasa.
“Manis,” gumamnya dengan senyum tipis. “Wajar kalau kamu punya kriteria tinggi untuk pasanganmu. Kamu … ganteng,” ucapnya pelan.
Nala menatap tangan kiri Rangga. Ia teringat sentuhan hangat tangan Rangga. Seajaib itu perasaan suka ini, sampai hangat genggam tangan masih bisa ia ingat rasanya.
Ragu-ragu Nala mendaratkan tangannya di atas punggung tangan Rangga.
“Apa boleh aku begini?” bisiknya.
Mengelus perlahan punggung tangan Rangga. Nala kembali merasakan hangat itu. Hatinya kembali berdesir, jantungnya berdegup lebih dari biasanya.
“Seandainya, ada banyak waktu buat kita bicara. Banyak banget yang ingin aku sampaikan sama kamu. Tentang perasaan aku sama kamu, kata maaf yang lebih baik tentang ketidakjujuranku dan tentang rasa sakit saat aku melihat kamu terluka. Aku tahu itu semua hanya pengandaian. Entah terjadi atau nggak.”
Nala bicara dengan tangan yang tak berhenti mengelus punggung tangan Rangga. Sesekali menyelipkan senyum tipis.
Yang dielus sedikit meringis. Mungkin sedang merasakan nyeri di lengan atau kakinya.
Nala tahu ini seperti mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tapi ia merasa butuh tambahan energi setelah cerita menyedihkan hari ini. Anggap saja ini penghiburan yang Tuhan berikan saat ia terluka. Meski harus di atas kesakitan Rangga. Biarkan Nala begini untuk beberapa saat.
Hingga sisa malam berakhir, genggaman di atas punggung tangan kini menjadi saling menggenggam. Entah siapa yang mulai menggenggam. Yang mereka tahu, saat bangun keduanya melihat tangan mereka bertaut. Tentu saja segera di lepaskan.
***