Benar-benar tak ada komunikasi dari Selda. Telepon Rangga tak diangkat, pesan yang susah payah diketik pun tak terbalas. Rangga mulai frustasi dengan kondisi seperti ini.
Malam ini hampir tiap menit ia memeriksa ponselnya. Tapi tetap saja tak ada balasan dari Selda.
Nala yang masih membaca surat-surat dari anak didiknya di meja kerja Rangga, menyadari kegelisahan suaminya. Ia membuka laci meja dan sembarang memasukan kertas-kertas itu kedalamnya. Kemudian beranjak bangun dan duduk di tepi kasur.
“Kamu kenapa, Mas?”
Rangga hanya menggeleng.
“Sepertinya, sudah saatnya kita bicarakan Selda. Banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Memangnya kamu ga ingin menjelaskan sama aku?”
“Aku rasa kamu bisa menarik kesimpulan sendiri.”
“Aku ga mau menduga-duga. Aku siap, kok denger semua cerita kamu tentang Selda.”
Rangga menoleh ke arah Nala. Yang ditengok memberi senyum simpul.
“Aku … bertemu Selda sehari setelah aku meminta kamu menerima perjodohan. Perasaan aku masih sama saat bertemu Selda. Sama seperti sebelas tahun yang lalu saat kami terpaksa berpisah. Jelas aku salah. Tapi, aku terikat sama kamu tanpa perasaan. Awalnya, aku kira … kita …” terdengar suara ragu dri Rangga, “masih bisa membatalkan pernikahan. Tapi, Ibu sangat menyukai kamu. Aku sulit keluar dari pernikahan ini.”
Meski Nala bilang siap mendengar, tapi hatinya bukan batu. Yang tak bereaksi saat kalimat Rangga menikam perih. Nala menahan perih itu. Berulang kali menelan ludah, getir.
“Kalau Ibu mengizinkan, apa kamu akan tetap berpisah dengan aku?”
Tak ada jawaban. Tak lama, Nala terkekeh.
“Pertanyaan bodoh, ya?”
Nala menengadahkan wajahnya, menahan bulir air agar tak jatuh. Ia juga menggigit bibir agar tangis tak pecah. Ia melukai diri sendiri dengan pertanyaannya.
“Kamu yang minta aku menceritakan soal Selda.”
“Lalu, rumah tangga kita gimana? Kalau kamu tetap berhubungan dengan Selda, artinya … kamu selingkuh. Meski kamu ga menyukai aku, tapi kita terikat. Atau … kamu mau poligami?”
Rangga menajamkan sorot mata yang terarah pada Nala.
“Rasanya itu pilihan yang paling masuk akal sekarang. Apa ada pilihan lain untuk kondisi kita sekarang? Berpisah ga bisa, bersama juga ga ada rasa.”
Beberapa detik lengang.
“Mas, mungkin kamu ga punya perasaan sama aku. Tapi aku … aku sudah melabuhkan hati dan bakti ku sama kamu, Mas.”