Seperti dugaan Nala, saat Bu Ani membicarakan liburan untuk mereka berdua, Rangga menjawab sibuk. Pekerjaannya banyak, tak punya waktu berlibur. Nala tak kaget mendengar itu, karena ia sudah tahu jawabannya. Justru ia akan kaget jika mendengar Rangga mau berlibur berdua dengannya.
Malam ini, saat Nala masuk kamar, sengaja ia lepas jilbabnya. Membiarkan rambut hitam pekatnya terurai. Meski canggung, Nala berusaha mengendalikan ekspresinya.
Tentu saja Rangga sedikit memperhatikan sebelum ia masuk dalam balutan selimutnya.
“Kenapa?” tanya Nala sengaja memancing Rangga bicara.
Rangga hanya menggeleng.
“Mas, besok aku mau mampir ke toko kue temanku. Jadi, pulangnya agak telat. Boleh, kan?”
“Lakukan sesuka kamu,” jawab Rangga segera menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.
“Aku boleh tanya sesuatu?”
“Apa lagi?”
Rangga membalikan badanya menghadap Nala. Melihat respon suaminya, Nala duduk di samping Rangga.
“Kamu … ga berniat balas surat dari aku?”
“Surat?” ucap Rangga menggumam. Ia ber-oh saat ingat surat yang tempo hari diberikan Nala – yang belum ia baca.
“Kenapa harus dibalas? Kita satu rumah, bicarakan saja yang mau kamu bicarakan.”
“Kalau kamu mau menyediakan waktu untuk bicara, aku pasti bicara. Tapi … kapan kita bisa bicara soal perasaan, berdua?”
“Aku … ga punya bahan obrolan soal perasaan,” jawab Rangga sedikit ragu.
Sebenarnya, ada setitik rasa peduli di hati Rangga. Hanya saja, mulutnya tak bisa bohong jika itu soal perasaan. Jika suka ia akan bilang suka, jika tidak maka ia akan bilang tidak.
Gaya bicara dan intonasinya pun terdengar datar jika ia berhadapan dengan Nala. Menambah kesan cuek dan tak peduli.
“Oke,” Nala mengangguk. Sepertinya Nala juga mulai terbiasa dengan cara Rangga bicara. “Jika kamu merasa begitu, ga apa-apa. Tapi, aku punya banyak obrolan soal perasaan. Jadi, jangan tolak surat aku, ya. Kalau nanti kamu berniat membalas, kamu hanya perlu taruh di kotak pink, di atas nakas.”
Rangga baru menyadari kalau di atas nakas ada sebuah kotak berwarna merah muda dan ada sedikit aksen pita putih di tengahnya. Entah sejak kapan kotak itu ada disana, yang jelas, bukan Rangga yang menaruhnya.
“Iya,” jawab Rangga berusaha mengakhiri obrolannya.
“Selamat tidur. Jangan lupa baca doa.”
Nala menyadari dirinya seperti pengemis cinta. Memohon agar ada kesempatan untuknya berusaha membuat Rangga jatuh cinta. Bahkan itu pun berusaha sendiri. Namun, tak ada cara lain demi sebuah bakti yang sudah terikat oleh ikatan suci.
***
Seusai jam kelasnya selesai dan seluruh anak didiknya pulang setelah menerima pelukan dari Nala, lalu Jessy menghampiri Nala.
“Ayo, kita jadi ke outletku, kan?”
Nala mengangguk segera. Membereskan barang-barangnya dan ikut Jessy dengan mobilnya.
“Kita ke outlet yang mana?” tanya Nala saat mereka sudah melaju di jalan utama kota.
“Kita ke outlet yang lagi di renov dulu, ya? Ga apa-apa, kan? Arsiteknya nyebelin. Sok ngatur banget. Padahal aku udah jelasin, konsep aku, tuh, begini. Eh, dia bilang ‘Bagusan begitu’.” Jessy menirukan ucapan sang arsitek dengan nada mencibir.