Nala masih menangis dengan tubuh yang gemetar. Wajahnya pucat. Bibirnya tak lepas beristighfar, meski beberapa detik kemudian ia kembali menangis terisak.
“Nala ... tenang dulu, ya.”
“Dia bajingan!!” teriak Nala, membuat gema di ruangan yang masih kosong ini.
Jessy membawa Nala ke ruangan yang kelak akan jadi ruang kerjanya. Beruntung ada kursi yang bisa dipakai mereka untuk duduk.
“Aku harus pergi dari sini, Kak!” ujarnya seraya beranjak bangun. Membuat tasnya jatuh.
“Tunggu dulu sampai kamu tenang, ya?” Jessy berusaha bersuara lembut untuk menenangkan Nala.
“Nggak. Aku harus pergi sekarang. Aku ga mau ketemu dia.”
Nala berlari. Jessy nyaris meraih tangan Nala untuk menahannya, tapi gagal.
Jessy mengambil ponsel dari tas Nala, menghubungi orang yang bisa menenangkan Nala.
“Nala ...” teriak Jessy mengejar Nala yang melangkah dengan cepat. “Tunggu dulu! Nala ...”
Di depan jalan utama Jessy berhasil menyusul Nala. Ia menahan tangan Nala dengan erat.
“Nala, please … tenang dulu. Dia udah pergi. Dia udah ga disini.” Suara Jessy tegas sambil menatap mata Nala. Berharap Nala mau mendengarkan.
“Kak Jessy ga bohong?”
Jessy mengangguk yakin.
“Kamu tunggu sebentar. Nanti Ikram kesini.”
Nala mulai tenang begitu mendengar nama Ikram. Ia tahu Ikram adalah salah satu orang yang bisa memberinya rasa aman.
Tak butuh waktu lama, Ikram datang. Wajahnya langsung cemas melihat Nala. Saat Ikram datang, Nala langsung memeluknya. Nala kembali menangis.
“Bang Ikram, dia ada disini. Dia sengaja mau menghancurkan hidup aku lagi.”
Ikram mengelus kepala Nala berusaha menenangkan.
“Ga akan, Nala. Dia ga akan berani ngelakuin itu sama kamu. Ada aku. Tenang, ya.”
Butuh beberapa menit menenangkan Nala. Sedari tadi Jessy tak banyak bicara. Ia belum mengerti kenapa Nala bisa sehisteris itu melihat Marcel.
“Jess, makasih banyak udah jagain Nala. Sepertinya lain waktu kita harus bicara,” ucap Ikram lesu.
Jessy tahu yang Ikram maksud bukan bertemu untuk bicara hal biasa. Pasti ada hubungannya dengan Marcel.
Jessy kembali memeluk Nala sebelum mereka pergi.
Nala masih terisak di belakang. Kejadian ini sungguh tak pernah ia bayangkan. Ia pernah berdoa agar tak dipertemukan lagi dengan orang yang sudah menghancurkan hidupnya. Tapi ternyata, doa itu belum diijabah.
Tanpa aba-aba, pria itu muncul di hadapannya. Mengorek lagi luka yang telah lama terkubur. Meruntuhkan dinding pertahanan yang ia bangun untuk menyembuhkan luka.
Ikram melihat tangis adiknya dari kaca spion. Ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Tapi setelah mendengar dia ada disini, darah dalam diri Ikram mendidih. Orang yang dulu ia cari-cari, ada disini sekarang. Paling tidak ia harus merasakan pelampiasan kemarahannya enam tahun lalu.
Nala tetap meminta Ikram mengantarnya ke rumah Rangga. Meski Ikram merasa, Nala lebih baik menenangkan diri di rumah orang tuanya. Hingga mereka sampai di gerbang rumah Rangga, Nala memberi tahu Ikram agar tak menceritakan ini pada orang tuanya.
“Inget, ya, jangan cerita ini ke Ayah dan Ibu.”
“Iya. Tapi … apa kamu akan baik-baik aja?”
Nala mengangguk. Meski sebenarnya ia tak yakin.