Suasana malam yang tak berbeda setiap harinya. Beraktifitas masing-masing. Rangga sesekali mengecek laptop dan Nala membaca buku. Nala tahu sebentar lagi Rangga akan menggelar bed cover-nya untuk beranjak tidur. Ia punya permintaan malam ini. Ia beranjak bangun dari tempat tidurnya, meletakan buku di atas nakas.
“Mas … boleh bicara sebentar?” tanya Nala sedikit ragu.
Membuat Rangga menghentikan jemari yang menari di atas keyboard laptopnya.
“Kalau kamu mau membahas soal perasaan, sebaiknya ga usah.”
“Bukan,” Nala segera menggeleng dengan wajah meyakinkan.
Nala duduk di tepi kasur menghadap Rangga.
“Ini soal anak didik aku yang dapat kekerasan dari orang tuanya,” kata Nala.
Refleks Rangga menggeser kursinya ke arah Nala. Ia pernah bertemu anak-anak itu saat acara sosial. Sedikit menarik perhatian Rangga, saat mendengar ada anak yang mendapat kekerasan.
“Siapa?” tanya Rangga pendek.
“Namanya Sheila.”
Satu pertanyaan yang kemudian dijawab panjang lebar oleh Nala. Ia menceritakan dengan lengkap apa yang ia ketahui tentang Sheila.
Ternyata cerita Sheila mampu menarik perhatian Rangga. Tanpa sadar ia memperhatikan ekspresi wajah Nala saat bercerita. Anak rambut yang berkali-kali di rapikan Nala ke sisi telinganya. Hingga mata Nala yang berkaca-kaca.
“Hei, ga usah pakai acara nangis!” seru Rangga dengan suara khasnya yang datar.
Nala menyeka bulir air yang belum sempat turun.
“Jadi, apa Mas Rangga bisa bantu Sheila. Maksud aku, aku benar-benar khawatir ayahnya makin menjadi-jadi setelah ibunya Sheila pergi.”
“Kamu punya bukti kalau ayahnya melakukan kekerasan?”
Nala terdiam sejenak untuk mengingat.
“Selain ucapan dan luka memar Sheila aku ga punya bukti lain.”
“Setidaknya kita harus punya bukti, kan? Ah, aku punya teman yang lebih paham soal hukum. Mungkin nanti aku coba bicara sama dia.”
“Serius?” Nala meyakinkan seakan tak percaya mendengarnya.
Rangga mengangguk.
“Beneran?” Nala meyakinkan lagi.
“Iya,” jawab Rangga dengan tegas.
“Yaa Alloh, makasih banget …” Nala berseru bahagia. Berjingkrak riang, masih tak percaya.
Sampai tak sadar tangannya menggapai tangan Rangga.
“Makasih, ya, Mas.”
“Ehm, i-iya, “jawab melepas tautan tangannya perlahan.
Nala tersenyum canggung, tapi juga tidak keberatan dengan tautan tangan itu.
Nyatanya, cerita Sheila bisa membuka sebuah obrolan yang lebih lama di antara keduanya. Bahkan tanpa sadar ada mata yang memperhatikan setiap ekspresi yang tercipta, ia tak menyadari itu. Sungguh tak menyadari.
***
Nala menunggu di depan gerbang sekolah dengan cemas. Menunggu kedatangan Sheila sedari pagi.
“Nala … ngapain disini?” tanya Jessy saat ia sampai di depan gerbang dengan motornya.
“Aku nunggu Sheila,” jawab Nala dengan ekspresi cemas yang tak bisa ditutupi.