Nala ingat jelas tatapan sendu dari Marcel tadi sore. Ia pernah melihat tatapan itu dulu. Saat Marcel bilang tak ingin kuliah ke luar kota. Tapi kali ini terasa lebih sendu.
Mata Nala terpejam setelah beberapa saat tak bisa tidur. Dalam gelap pejam matanya, ia melihat senyum sendu itu lagi. Sampai Nala bisa merasakan perasaan sendu itu. Tapi bayangan tentang Marcel yang paling lekat dalam ingatan Nala adalah kebodohannya menghancurkan hidup Nala. Apapun gambaran indah bersama Marcel dulu, tetap yang akan muncul adalah hal menyakitkan itu.
Dalam sunyi malam dan redup lampu tidur, suara igauan Nala terdengar jelas. Seruan ketakutan, permohonan agar ia bisa pergi dari tempat menyeramkan itu terdengar lirih. Makin jelas gambar masa lalu itu nampak, makin saja Nala ketakutan.
“Lepas! Brengsek !”
Rangga terusik dengan igauan Nala. Matanya terbuka. Memastikan ia mendengar sebuah umpatan.
“Bajingan!”
Kini Rangga beranjak bangun. Menengok ke arah tempat tidur Nala. Istrinya terisak dengan mata terpejam. Inginnya Rangga mengacuhkannya. Tapi kembali ia merasa terganggu dengan isakan Nala yang terdengar sakit.
“Nala …” Rangga memanggilnya pelan.
Tangisnya makin terdengar.
Rangga membangunkan Nala, meraih pundak Nala perlahan.
“Nala …”
Mendapat sebuah sentuhan pelan, Nala terbangun dengan terkesiap. Langsung bangun dengan mata terbelalak. Jejak air mata terlihat jelas.
Nala menatap Rangga dengan dada yang naik turun. Nafasnya masih terasa berat. Setelah beberapa detik, Nala yakin pria di hadapannya bukanlah Marcel. Nala bersyukur, pria di hadapannya adalah Rangga.
Tangis Nala terdengar lagi.
“Aku takut banget …” Nala tergugu dengan tangan yang menutupi wajahnya.
Rangga duduk di tepi ranjang. Menatap Nala yang menangis tersedu.
“Dia datang lagi. Padahal aku ga mau ketemu dia. Dia pasti belum puas menghancurkan hidup aku,” ucap Nala lirih.
Hati Rangga berdenting. Entah kenapa tangisan perempuan di hadapannya membuat Rangga merasakan sakit. Padahal ia belum mendengar cerita sesungguhnya. Ia hanya menebak-nebak siapa pria dari masa lalu itu.
Tangan Rangga perlahan terangkat, mengelus rambut Nala samar. Tapi Nala masih menangis.
Rangga mendekatkan diri. Kali ini tangan Rangga meraih lengan Nala. Menarik tubuh Nala dalam pelukannya.
Nala sedikit tertegun. Meski tidak cepat, tapi rasa harunya semakin dalam, entah karena apa. Nala semakin tergugu dalam pelukan Rangga.
Satu menit, Nala membiarkan tangisan itu terurai dalam pelukan Rangga. Semua ketakutannya perlahan memudar saat aroma tubuh Rangga tercium bak penenang. Detak jantungnya seperti lantunan irama yang menenangkan. Nala merasa tenang dalam pelukan Rangga.
“Kamu jangan salah paham,” ucap Rangga saat Nala mulai mereda. “Kata orang, pelukan bisa mengurangi kepelikan. Aku juga pernah memberikan pelukan buat teman yang harus pindah kerja.”
Nala tak peduli apa nama pelukan ini. Yang ia rasakan adalah yang terpenting. Dekapan Rangga yang longgar tetap terasa hangat dan menenangkan.
Beberapa detik kemudian, Rangga melepaskan pelukannya dan Nala menyeka sisa air matanya.
“Terima kasih,” ucap Nala pelan.
Rangga hanya mengangguk.
“Udah lebih baik, kan? Aku mau tidur lagi.”
Kali ini Nala yang mengangguk.
“Jangan lupa baca doa,” ucap Rangga seraya beranjak.
Nala mengangguk lagi. Kali ini sambil menyembunyikan segaris senyum.