Surat Yang Tak Terbalas

Lail Arrubiya
Chapter #30

Pelampiasan Enam Tahun Lalu

Beberapa hari yang lalu, saat Nala mencari Pak Khoir karena ingin memastikan keadaan Sheila,beliau sedang bertemu donatur tetap di yayasan beserta donatur lain. Membahas rencana pembangunan panti sosial untuk anak-anak terlantar yang tak punya tempat tinggal. Kesepakatan tercipta. Sebuah panti sosial akan dibangun di area belakang sekolah yang kebetulan sudah sejak lama dibeli Pak Khoir. Bangunan bekas kos-kosan yang cukup luas.

Pagi itu Pak Khoir mengumpulkan semua staf dan pengajar sekolah di kantor. Kabar tentang pembangunan panti memang sudah terdengar sejak lama, namun kali ini Pak Khoir mengumumkan kepastian pembangunannya.

“Saya dan para donatur sudah sepakat akan membangun panti sosial di area belakang sekolah. Dan kami punya rencana, jika pantinya selesai, Sheila, adik dan ibunya bisa tinggal disana. Selain itu, Alhamdulillah dana yang terkumpul Insya Alloh sudah cukup dan … Alhamdulillah, ada donatur baru di sekolah ini.”

Semua ikut berhamdalah saat mendengar niat baik Pak Khoir bisa segera terlaksana.

Nala kembali ke kelas dengan sedikit lega, mengingat Sheila yang akan segera mendapat tempat tinggal bersama ibunya.

“Kak Nala, kapan Sheila masuk kelas lagi?” tanya Eni di sela-sela kegiatan belajar.

“Keadaan Sheila sudah membaik. Insyaa Alloh, dia akan segera bergabung lagi sama kita. Kalian doakan saja Sheila, biar lekas pulih. Karena doa yang tulus itu cepat di ijabah.”

Eni dan yang lain mengangguk-angguk.

Seusai menyelesaikan tugasnya di sekolah, Nala bergegas keluar kantor karena ia ingin menjenguk Sheila lagi.

Di parkiran, Nala melihat Jessy yang sedang menerima telepon. Wajah Jessy serius sekali, hingga Nala berpikir kalau itu telepon dari Marcel.

Nala mulai berpikir lebih dalam. Memikirkan bagaimana cara agar ia tak panik saat bertemu Marcel.

Ah, memikirkannya saja jantung Nala sudah berdetak tak karuan. Ia mengusir pemikiran bahwa mungkin saja ia bertemu lagi dengan Marcel. Berdoa itu adalah pertemuan terakhir.

Tapi tatapan Marcel di pertemuan terakhir kali, melintas di benak Nala. Kenapa harus menatapnya dengan tatap sendu itu?

***

Tanpa Nala ketahui, telepon yang diterima Jessy bukanlah dari Marcel. Melainkan dari Ikram. Sudah beberapa hari Ikram ingin bertemu Jessy, hanya saja kejadian Sheila dan kesibukan Ikram sendiri membuat mereka baru bisa bertemu sekarang.

Sore hari, Ikram menemui Jessy di toko rotinya. Jessy tersenyum simpul begitu melihat Ikram datang. Tapi sedikit tegang karena ia tahu bahan pembicaraannya dengan Ikram hari ini adalah soal Marcel.

“Cobain dulu kuenya. Ini best seller di toko kami,” ucap Jessy menyodorkan sepotong red velvet dan secangkir teh hijau di dekat Ikram.

“Terima kasih,” jawab Ikram.

Demi sopan santun, Ikram mencicipi segigit kue.

“Jessy, aku mau tahu tentang bajingan itu. Dimana dia tinggal?”

Pertanyaan pertama Ikram terasa di penuhi kemarahan. Seketika mengubah suasana menjadi suram.

“Ikram, dia sepupu aku.”

“Tapi itu ga merubah kenyataan kalau dia sudah menghancurkan hidup adik aku,” jawab Ikram datar. “Kamu pasti udah tahu ceritanya dari bajingan itu, kan?”

Jessy mencari arah pandang lain, berusaha mengendalikan nada bicaranya.

Lihat selengkapnya