Nala dan Rangga menikmati sinar senja yang menyiram lautan dan daratan dari ketinggian. Hati keduanya berdebar, bukan karena takut ketinggian. Tapi karena sebuah jarak yang tak pernah mereka bayangkan, akan ada masa keduanya berada di jarak yang sangat dekat lebih dari sepuluh menit.
Menjelang magrib, keduanya duduk di kursi depan tenda, menatap bola raksasa sempurna tenggelam.
Bersamaan dengan itu, ponsel Rangga berdering. Ibunya memanggil dengan video call.
“Assalamu Alaikum,” sapa Bu Ani begitu sumringah. “Loh, Nala mana?” tanya Bu Ani saat tak melihat Nala dalam panggilan itu.
“Ini,” ujar Rangga seraya menggeser ponselnya mengarah pada Nala.
Nala tak mau Rangga merasa pegal mengarahkan ponsel pada dirinya. Ia justru menggeser kursi merapat pada Rangga. Membuat yang di pepet sedikit berdecak.
“Assalamu Alaikum. Ibu … rekomendasi dari Ibu keren banget. Tadi aku sama Mas Rangga naik paralayang. Berdua. Nanti aku kirim videonya ke Ibu, ya. Ibu harus liat juga.”
Suara Nala terdengar sangat bahagia. Sampai-sampai ibu mertuanya bisa merasakan kebahagian itu dari nada suara dan ekspresi Nala.
“Mbak Nala, tempat itu rekomendasi aku, loh,” suara Mina terdengar protes tanpa memperlihatkan wajahnya.
“Iya … iya. Makasih Kak Mina. Lain waktu kita kesini bareng-bareng, ya.”
Obrolan mereka tak berlangsung lama karena adzan magrib berkumandang. Kali ini bukan Rangga yang mengimami sholat. Karena mereka sholat bersama tetangga kemah dan beberapa penduduk setempat.
Penerangan cukup terang dengan deretan lampu yang terpasang. Nala sudah mempersiapkan makanan olahan yang hanya perlu di goreng atau di bakar. Sosis, nuget dan semacamnya mulai di masak Nala di kompor portable.
Indikator lampu di teko elektrik menandakan air yang dimasak sudah mendidih.
Nala menuangkan perlahan ke dalam dua gelas yang berisi teh. Nala memasukkan gula sesuai takaran yang ia tahu selama hampir empat bulan membuatkan teh untuk suaminya. Meski ia tak tahu, takaran itu pas atau tidak karena Rangga tidak pernah berkomentar.
Sepiring sosis bakar dan chicken katsu lengkap dengan saus dan mayonise tersaji bersama dua gelas teh panas.
Keduanya sudah mengenakan jaket tebal. Cuaca malam hari terasa lebih dingin.
“Awalnya aku ragu sama rekomendasi Kak Mina. Berkemah dan paralayang? Untuk pasangan suami istri yang baru menikah? Ternyata … sangat menyenangkan.” Nala menatap Rangga yang tak menatapnya.
Rangga lebih memilih menatap lautan yang kini tertutup gelap. Tapi tak mengurangi keindahan tempat ini di malam hari. Titik-titik lampu dari rumah di dataran bawah persis seperti bintang kecil yang menghiasi gelap malam.
“Terima kasih, sudah mau membawa aku kesini. Perjalanan yang panjang dan terjal, dan … mau menemani aku paralayang tadi, sungguh … itu luar biasa buat aku. Aku ga akan mampu melupakan kenangan hari ini. Semoga kamu juga, akan terus mengenang kisah kita hari ini.”
Rangga masih menatap hamparan lampu kota yang cantik berkelip. Menghela nafas, kemudian meneguk sedikit tehnya yang mulai hangat.
Beberapa saat keduanya hanya berdiam menikmati nyanyian malam di alam terbuka. Suara binatang malam, angin dingin dan gelap yang dihiasi kelip bintang di langit.
“Nanti kita …”
“Aku tidur duluan,” kata Rangga menyela seraya meletakkan gelas tehnya dan berlalu meninggalkan Nala.
“Loh, ini makanannya ga di makan?”