Liburan Nala dan Rangga sudah usai. Liburan itu cukup memberi semangat baru untuk Nala. Di tambah, Sheila sudah bergabung lagi dengan teman-temannya di kelas. Semangat pagi yang beberapa hari yang lalu sempat hilang.
“Kak, panti sosialnya kapan jadi? Nanti kita bisa nginep disana, kan?” tanya Manaf di sela-sela kegiatan mereka yang sedang membuat kolase dari daun kering.
Nala tersenyum mendengar pertanyaan Manaf.
“Panti itu dikhususkan buat teman-teman kita yang belum punya tempat tinggal, Manaf.”
“Kayak aku,” ucap Sheila menambahkan.
“Eh?” Nala merasa bersalah bilang begitu. “Tapi, ibunya Sheila, kan, diangkat sebagai juru masak di panti sama Pak Khoir. Dan ibunya Sheila harus selalu ada disana siang malam. Jadi pilihan terbaik, ya, tinggal disana. Kan, sekarang Sheila masih tinggal di kampung sebelah. Jauh kalau bolak-balik.”
“Iya, benar. Masakan ibuku memang enak.” Kali ini wajah Sheila berubah, tersenyum bangga.
“Kak Nala, aku mau kasih hadiah buat Pak Khoir. Kakak bisa antar aku ketemu beliau sepulang sekolah,” kata Sheila saat ia mengumpulkan hasil karyanya.
“Oh? Hadiah apa?” tanya Nala.
“Rahasia,” jawabnya dengan senyum bahagia.
Nala senang, Sheila sudah lebih baik sekarang. Dia tak pernah tahu apa yang gadis itu sembunyikan dalam hatinya. Yang ia lihat dan rasakan sekarang, Sheila bahagia dengan cerita barunya.
Sepulang sekolah, Nala menemani Sheila ke kantor untuk memberikan hadiah rahasia yang dibilang Sheila. Tapi di kantor hanya ada Risti. Risti bilang, Pak Khoir sedang memantau pembangunan panti bersama seorang donatur.
Karena lokasinya yang tak jauh, Nala berinisiatif mengantar Sheila kesana.
Beberapa ruangan terlihat sudah dibongkar, tumpukan reruntuhan mulai terlihat di beberapa titik.
Dari jauh, Nala melihat Pak Khoir dan seseorang tengah sibuk berdiskusi. Sesekali tangan orang itu menunjuk ke beberapa area.
“Assalamu Alaikum,” sapa Nala.
Keduanya menoleh bersamaan. Tapi orang di samping Pak Khoir membuat Nala terpaku. Beberapa detik Nala tak bisa bicara, hingga tepukan kecil mendarat dari tangan Sheila. Ia malu untuk bicara pada Pak Khoir, berharap Nala yang menyampaikannya.
“Oh, maaf, Pak … ehm, Sheila mau memberi Bapak hadiah katanya,” ucap Nala berusaha terkendali.
“Oh, ya? Apa itu?”
Sheila mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Sebuah toples kecil berisi kue kering diberikan untuk Pak Khoir.
“Ini kue buatan ibuku. Nanti Ibu mau coba jualan, kalau rasanya enak.”
“Wah, Bapak yang mencicipinya duluan?” tanya Pak Khoir seraya menerima toples kue itu.
“Terima kasih karena Bapak udah mau membantu Ibu aku. Terima kasih karena Ibu akan jadi juru masak disini. Bapak harus percaya, masakan ibuku enak banget.”
Pak Khoir tersenyum sambil mengangguk.
“Nah, ini untuk kak Nala,” lanjut Sheila seraya memberikan sebuah kertas yang dilipat rapi.
Nala tahu itu sebuah surat. Sheila dan anak-anak yang lain sering memberinya surat jika mereka merasa sulit mengungkapkan sesuatu.
“Terima kasih,” jawab Nala memberi Sheila senyum.
“Aku pamit pulang, ya,” kata Sheila meraih tangan Pak Khoir, menyalaminya.