Kumandang adzan isya baru saja selesai berumandang. Nala kira obrolan Selda dan Rangga tak akan lama. Nala memlih naik lagi ke kamarnya untuk melaksanakan sholat isya.
Baru saja berdiri, pintu kamarnya terbuka. Rangga masuk dengan ekspresi yang tak jauh berbeda. Sendu.
“Kita berjamaah,” ucap Rangga pelan.
Nala terkesiap beberapa detik. Baru sadar saat Rangga keluar dari kamar mandi dan menggelar sajadah di depan Nala.
Kenapa tiba-tiba?
Nala menyimpan dulu pertanyaannya dalam hati. Fokus pada ibadahnya. Suara berat Rangga terdengar sendu. Bahkkan satu dua kali terdengar isakan kecil.
Hingga usai salam, Nala masih setia di belakang Rangga yang melafakan doa. Lagi-lagi terdengar isak dari Rangga. Tapi tak lama, Rangga menghapus air matanya dan berbalik menghadap Nala.
“Nala … apa Ibu akan memaafkan aku? Bahkan di ujung kalimatnya tak terucap maaf buat aku.”
Pria yang sering berekspresi datar di hadapan Nala itu, kini sangat menyedihkan dan terpuruk. Air mata terus membasahi pipinya. Mengalir saja tanpa diminta.
Nala mendekati Rangga. Menggenggam tangan yang bergetar. Mengeratkannya, berusaha mentransfer kekuatan untuk Rangga.
“Insyaa Allo, Ibu pasti memaafkan kamu, Mas. Ibu sangat menyayangi kamu.”
“Aku sudah melukai Ibu, menyakiti hati Ibu.”
Nala terenyuh melihat suaminya begitu rapuh. Ia tergugu di hadapan Nala. Ketegarannya runtuh seketika saat orang tersayang meninggalkannya.
Bukankah semua orang akan begitu saat ditinggalkan orang terkasih. Dunia seakan gelap, runtuh tak karuan. Seakan tak ada harapan di hari esok. Seakan tak akan ada pelangi di langit. Hanya kelabu dan sendu.
Malam ini, Nala menawarkan agar Rangga tidur di atas. Tapi ia menolak. Hingga akhirnya, Nala yang membawa bantal dan selimutnya untuk tidur di bawah.
“Izinkan aku menemani kamu. Sebentar saja. Sampai kamu merasa lebih baik.”
Rangga tak menolaknya. Ia membiarkan Nala berbaring di sampingnya. Saling membelakangi. Tak ada obrolan meski mereka bersebelahan. Pikiran Rangga masih memutar semua kenangan tentang Ibunya. Kenangan yang penuh arti dalam hidup Rangga. Tentang perjuangan sang ibu selepas kepergian sang ayah. Kasih sayang penuh yang tercurah meski sibuk bekerja. Tapi dalam benak Rangga juga membekas rasa bersalah. Kepergian sang ibu adalah karena kesalahannya. Membebani pikiran wanita tua yang harusnya sudah tenang bersama anak cucunya.
Seperti biasa, malam memang selalu sunyi. Tapi kali ini terasa lebih sunyi bagi Rangga. Tak ada lagi sosok sang ibu dalam hidupnya. Ini baru malam pertama ia ditinggal pergi, tapi rasanya sudah sesepi ini. Ia tak bisa tidur. Matanya terpejam tapi pikirannya terus bergelung dengan masa lalu dan rasa bersalah.
Rangga terus termenung sepanjang hari, setiap mengingat Ibunya, ia akan terenyuh kemudian menitikan air mata. Siang ini, Nala mendapati Rangga yang termenung di kamar Bu Ani. Duduk di ujung kasur sambil menatap foto dirinya dan Bu Ani saat wisuda.
Nala enggan mengganggu, tapi kehadiran Nala di bingkai pintu bisa dirasakan Rangga.
“Makan dulu, Mas.”
“Aku ga lapar. Kamu makan duluan.”
Nala melangkah mendekati Rangga.
“Kamu belum makan dari kemarin malam.”
Rangga menggeleng. Ia tetap tidak mau makan. Tak ada selera sama sekali, bahkan kesedihan membuatnya tak merasa lapar.
Nala tak bisa memaksa. Ia kembali keluar meninggalkan Rangga yang ingin sendiri.
Hingga sore, Rangga tak keluar dari kamar Bu Ani. Nala merasa khawatir dan memeriksanya. Ia melihat suaminya meringkuk sambil memeluk foto sang ibu. Sepertinya tertidur.
Nala mendekat, menatap lamat-lamat wajah Rangga yang masih dirundung pilu. Alisnya mengerut seakan sedang memikirkan sesuatu yang berat, meski matanya terpejam.
“Maaf … Bu,” igau Rangga pelan.