Senja hari ini cuaca cukup cerah. Sinarnya jingga menyiram kota. Semilir angin menerpa dedaunan, bergerak gemulai menari bersama angin. Di antara banyaknya pohon kamboja, salah satunya tumbuh dengan bunga putih di dekat pusara Bu Ani yang masih bertanah merah. Dan ada putranya yang menyapa dengan air mata, yang tak mau berkompromi. Turun tanpa suara isak.
“Kalau aku bisa memutar waktu, aku ingin mengulang waktu pertama kali Ibu meminta aku menikah. Harusnya aku segera menikah saat itu. Biar tidak ada drama macam ini. Dan Ibu … tidak perlu pergi dengan sakit hati. Maafkan aku, Bu.”
Pikirannya mengambang di cakrawala. Jika ada kesempatan memutar waktu, haruskah ia menerima perjodohan itu dan tak perlu datang ke acara sosial di sekolah Pak Khoir? Meski ia tahu ada Selda disana.
Atau haruskah ia menolak sejak awal? Agar tak ada hati yang terluka.
Percuma.
Tak ada keajaiban macam itu di dunia ini. Semua yang terjadi tak akan bisa diputar ulang. Meski hitungan detik, waktu tak akan pernah terulang.
Rangga pulang terlambat sore ini. Membuat Nala cemas menunggu. Ia khawatir kondisi Rangga yang belum stabil. Tapi kecemasannya itu segera sirna begitu mendengar suara mobil Rangga di depan rumah. Bergegas Nala menyambut Rangga di depan.
Tapi Nala semakin cemas begitu melihat wajah Rangga yang memar.
“Mas, wajah kamu kenapa?”
“Ga apa-apa,” jawab Rangga berusaha menghindar.
Tidak mungkin tidak apa-apa, jelas wajah Rangga bilang ada sesuatu yang terjadi. Namun, Nala memilih untuk diam dulu. Ia tahu, ia tak dapat memaksa Rangga bicara. Jika Rangga mau, ia akan bercerita tanpa diminta.
Nala memilih menyiapkan keperluan Rangga. Secangkir teh hangat dan makanan yang sudah tersaji jika ia ingin makan.
“Aku mau mandi dulu,”kata Rangga berlalu tanpa menyentuh teh buatan Nala.
Lagi-lagi Nala hanya bisa pasrah. Tak ada yang bisa dipaksakan lagi sekarang.
Di kamarnya, seusai mandi, Rangga mendapati ponselnya dipenuhi pesan dan panggilan tak terjawab dari Selda.
Rangga masih bingung, langkah apa yang harus ia ambil.
Telepon Rangga kembali berbunyi. Masih dari orang yang sama. Yang sedari tadi berharap teleponnya diangkat oleh Rangga.
“Rangga,” seru Selda terdengar lega akhirnya Rangga mengangkat teleponya.
“Kenapa baru angkat telepon aku?”
“Tadi aku ke makam Ibu dulu.”
Selda hanya ber-oh.
“Rangga, management meminta aku klasrifikasi berita yang beredar. Kamu sudah liat beritanya?”
“Iya,” Rangga menjawab pelan.
Itu yang sedari tadi ia pikirkan.
“Kamu tenang saja, aku bisa bilang itu cuma salah faham. Lama-lama juga beritanya akan redup sendiri.”
“Tapi, Selda, karir kamu juga bisa saja redup.”