Suasana hati Nala mempengaruhi kegiatan mengajarnya hari ini. Ia tak banyak memberikan senyuman ceria. Hanya sesekali tersenyum simpul. Tentu saja anak-anak ini peka dengan perubahan sikap guru favoritnya.
“Kak Nala, apa kami bikin salah hari ini?” tanya Sheila seusai pelajaran selesai.
“Eh? Nggak, kok. Kalian hebat sekali hari ini.”
“Tapi, Kak Nala ga ceria hari ini,” sahut Eni yang bersiap bersalaman dengan Nala.
Mirna, Gugum dan Manaf ikut mengerumuni Nala.
“Oh, maaf, hari ini Kak Nala kurang enak badan.”
“Sini!” seru Sheila menarik tangan Nala. Membuka telapak tangan Nala dan menempelkan telapak tangannya. Mentransfer energi.
“Kak Nala selalu sehat dan selalu bahagia,” kata Sheila berusaha mensugesti Nala.
Gugum, Manaf, Mirna dan Eni ikut menumpuk telapak tangan mereka di atas tangan Sheila.
Nala hanya tersenyum yang lebih mengembang sekarang. Ini bentuk transfer energi yang ia butuhkan sejak pagi. Perhatian anak-anaknya.
Selain Nala yang tersenyum lebih mengembang, di luar, lewat jendela kelas Marcel ikut tersenyum melihat Nala yang di kelilingi anak-anak yang menyayanginya.
Pelajaran sudah usia. Anak-anak sudah pulang setelah yakin Nala kembali bersemangat. Tugas Nala juga selesai. Bahan ajar besok sudah selesai. Nala bergegas pulang. Dia menjadi staf terakhir yang ada di sekolah. Menyisakan penjaga sekolah yang bertugas memastikan semua kelas sudah terkunci.
Nala merasa hari ini lalu lalang di depan sekolah berkurang. Tak banyak kendaraan yang lewat. Nala sedikit khawatir jika ojek online yang biasa ia pesan sedang mogok kerja. Ia meraih ponsel di tasnya, membuka aplikasi ojek online. Cukup lama, Nala belum mendapat driver yang mau menerima pesanannya.
Jangan-jangan kekhawatirannya benar? Bahwa ojek online sedang demo mogok kerja.
“Kak Nala …” seru Eni dan Mirna dari kejauhan.
Dua anak itu sudah berganti pakaian dan hendak melakukan tugas mereka membantu orang tua. Mereka hendak memulung.
Nala melambaikan tangan. Tapi tak lama, dengan cepatnya segerombolan anak remaja berlarian dengan senjata tajam di tangan mereka. Dan sebagian dari mereka terlihat terluka. Ada yang di bagian kepala, ada juga di tangannya.
Mirna dan Eni panik. Karung yang mereka bawa di lempar sembarangan. Bukannya lari, mereka justru jongkok sambil menutup telinganya.
Praktis Nala menjerit dan berlari ke arah mereka. Tak peduli pada bentrok antar remaja itu.
“Nala!” tangan Nala ditahan seseorang.
Semakin panik Nala mendapati Marcel menyentuh tangannya. Segera saja ia berontak melepaskan.
“Bahaya! Kamu tunggu disini.”
Marcel segera berlari ke arah Eni dan Mirna. Merangsek kumpulan remaja anarkis yang saling menyerang. Tidak karuan. Ada yang membabi buta menyerang dengan senjata yang dia bawa, ada juga yang lari karena sudah terluka.
Marcel berhasil meraih tangan Mirna dan Eni. Mengajak mereka keluar dari kerumunan. Namun nahas, belum sempat Marcel dan anak-anak keluar dari kerumunan, dari arah belakang sebuah pukulan tongkat mengenai bahu Marcel.
Mereka mengira Marcel bagian dari musuhnya. Dua kali Marcel mendapat pukulan di punggungnya.
“Mirna, Eni, lari ke arah Kak Nala!” seru Marcel berusaha melindungi mereka.
Kedua anak itu menguatkan diri untuk lari ke arah Nala. Sementara Marcel berusaha menangkis pukulan yang kini datang dari tiga orang.