Suara sholawat bersahutan dari masjid-masjid sekitar. Jam alami Nala otomatis membangunkannya. Membuka mata perlahan dan didapatinya lelaki yang ia cintai masih terpejam. Wajah yang tetap sama setiap kali Nala menatapnya ketika terpejam. Tetap tampan dengan rambut yang menutup keningnya.
Baru saja membuka mata, sendu sudah menerjang hatinya lagi. Mungkin ini hari terakhir ia bisa menatap wajah tampan yang terpejam ini. Tangan Nala perlahan menggapai kepala Rangga, mengusapnya perlahan.
“Akhir-akhir ini kamu pasti kurang tidur, kamu pasti lelah dengan semua urusan yang ada. Tapi … kamu tetap manis jika sedang tidur. Besok, semoga malammu lebih indah, tidurmu lebih berkualitas dan pagimu cerah.”
Nala harus menarik nafas lagi agar membendung tangis. Pagi ini ia ingin terlihat cantik. Agar hari terakhirnya bersama, sempurna diingatan Rangga.
Nala bangun untuk mengerjakan sholat malam. Sekaligus mengadu kegaduhan hatinya.
***
Selepas subuh, Nala menyiapkan pakaian yang akan dipakai Rangga ke kantor hari ini. Setelan jas berwarna abu tua, kemeja putih dan dasi berwarna abu muda. Nala rasa ini sudah cocok.
“Mau sarapan apa hari ini?” tanya Nala saat Rangga keluar dari kamar mandi, menyeka rambut yang setengah basah.
Rangga memastikan bahwa ia melihat senyum di bibir Nala. Dia sempurna berakting.
“Nasi goreng dengan telur dadar.”
Nala kembali tersenyum dan bergegas pergi ke dapur.
Di sana sudah ada Mina yang tengah membuat teh.
“Kak Mina, hari ini aku mau masak nasi goreng dan telur dadar. Kak Mina mau telur yang pedas atau nggak? Oh, aku lupa, Kak Mina, kan ga suka pedas, ya.”
Mina tersenyum prihatin melihat Nala berlakon sempurna.
“Mbak, hari ini, hari terakhir aku kerja di sini.”
“Eh? Kenapa?” Nala mengalihkan perhatiannya pada Mina.
Bumbu yang sedang diiris tergeletak di atas talenan.
“Melihat kalian begini, aku jadi membayangkan Ibu. Gimana perasaan Ibu kalau melihat kalian berpisah? Aku … sedih, Mbak. Setelah Ibu pergi, rumah ini jadi berantakan.”
Nala tertunduk mengakui kalau ucapan Mina benar.
“Aku tahu ini soal perasaan. Makanya aku memilih pergi daripada terus membayangkan perasaan Ibu di sini.”
Mina mendekat ke arah Nala, kemudian memeluknya.
“Kalau bukan karena Mbak Nala ini istri Mas Rangga, aku ingin memanggil nama saja. Karena aku sudah menganggap Mbak Nala ini seperti adikku sendiri. Dengar, aku nggak membenarkan tindakan Mas Rangga, tapi tolong jangan terlalu membencinya. Aku rasa dia juga berat mengambil keputusan ini. Dia pasti memikirkan perasaan kamu juga.”
Nala mengangguk dengan mata yang kembali basah. Padahal ia sudah bertekad untuk tidak menangis hari ini.
“Nala …” seru Mina melepaskan pelukannya, “meski nanti kita berpisah, kamu harus tetap menghubungi aku. Anggap aku kakakmu juga.”
“Kak Mina mau kemana setelah ini?”
“Pulang kampung. Uang tabunganku cukup untuk membuat usaha di sana. Sudah waktunya aku kembali mengurus makam suamiku.”
Nala memang belum lama mengenal Mina, seperti halnya mengenal Bu Ani. Tapi perasaan yang mengikat mereka. Satu sama lain saling peduli.
“Memangnya, ga bisa Kak Mina perginya nanti? Paling nggak, Mas Rangga ga sendirian, sampai dia … punya teman hidup yang baru.”
Mina tersenyum prihatin.
“Masih ada Pak Sholeh.”
“Kapan Kak Mina berangkat?”
“Sore nanti. Aku harus memasakkan kalian makanan yang enak dulu sebelum pergi.”
Sekali lagi keduanya berpelukkan.