Meski sudah meyakinkan diri untuk tetap tenang menemui Marcel. Tapi semakin laju mobil melambat, menepi di depan sebuah rumah, hati Nala semakin berdetak kencang. Berulang kali menghela nafas.
“Nala, kalau kamu ga yakin, kamu tunggu disini aja,” ucap Jessy seusai melepas sabuk pengamannya.
“Ga apa-apa. Aku cuma sedikit gugup.”
Nala kembali menghela nafas kemudian turun, berada di barisan paling belakang bersama Sheila, Eni dan Mirna.
Nala semakin gugup saat melihat siapa yang membuka pintu. Wajah yang masih bisa Nala ingat. Dulu, wajah ini selalu manis dalam ingatan Nala. Ia selalu tersenyum saat bertemu Nala dengan Marcel.
“Tante,” seru Jessy menyalami Ibunya Marcel.
Jessy bilang kalau anak-anak ini adalah anak didik Marcel saat menggantikan Nala cuti mengajar.
Mendengar nama Nala, Ibunya Marcel terkesiap. Menyisir satu persatu wajah yang ada di sini. Wajah Nala tak berubah, hanya penampilannya saja yang berubah. Tapi jilbab yang dikenakan Nala tentu membuatnya pangling.
“Nala? Beneran ini Nala?”
Nala sedikit tertunduk, cemas. Ia mengangguk pelan.
“Maa Syaa Alloh, jadi … kalian sudah bertemu?”
Ibunya Marcel sedikit mendekat ke arah Nala. Menatap Nala yang enggan mengangkat kepala. Beberapa detik kemudian memeluk Nala dengan haru.
“Eh, Pak Khoir kita masuk duluan saja,” ajak Jessy.
Pak Khoir tak tahu cerita antara Nala dan Ibunya Marcel, tapi cukup mengerti kalau keduanya perlu waktu hanya berdua.
“Yuk, anak-anak, kita ketemu Kak Marcel di dalam,” kata Jessy mulai mengajak satu persatu anak yang masih memperhatikan Nala.
Tak lama, rasa haru di hati Ibunya Marcel menjalar menjadi isak kecil.
“Nala … tante minta maaf, sayang,” seru Ibunya Marcel dengan panggilan yang masih sama, Sayang. “Seandainya waktu itu Tante bisa berbuat lebih buat kalian …”
“Tante …” sela Nala perlahan melepaskan pelukan.
“Sayang, Marcel sudah berusaha mencari kamu. Marcel berusaha menebus kesalahannya, dan tetap ingin bersama kamu.”
“Tante …” Nala kembali berusaha menyela.
“Nala, Tante tahu kamu pasti sakit hati, kamu pasti marah, tapi please … maafkan Marcel. Dia masih mencintai kamu. Dia bahkan rela meninggalkan rumah, daripada harus dijodohkan dengan perempuan pilihan ayahnya. Dia … masih mengharapkan kamu.”
Nala sedikit tertegun mendengarnya. Tapi Marcel sudah terlanjur menyakitinya, menodainya.
“Saat itu, kalau bukan karena Tante mungkin Marcel sudah berontak pada ayahnya. Demi Tante, Marcel memendam amarahnya. Hingga beberapa bulan yang lalu, Marcel sudah tak mau mengikuti mau ayahnya. Ia meninggalkan rumah dan memilih hidup sendiri di sini.”
Nala terdiam sekarang. Tak berusaha menyela.
“Tante ga membenarkan tindakan Marcel. Dia pantas dihukum. Tapi dia sudah menyesal sejak awal dan berusaha memperbaikinya. Hanya saja, Tante ga ngerti kenapa dia ga bilang kalau kalian sudah bertemu.”
Masih senyap. Nala tak berkomentar.