Surat Yang Tak Terbalas

Lail Arrubiya
Chapter #46

Membalut Luka Dengan Keikhlasan

Sore ini, Nala dan Ikram sengaja mampir di kedai es krim sebelum mengantar Nala ke rumah Rangga. Dua strowbery smoothies sudah di genggam Nala dan Ikram. Kemudian keduanya duduk di kursi depan kedai yang lengang.

Nala menyeruput strowbery smoothies-nya, memberi rasa sejuk di tenggorokan. Sudah lama sekali Nala tak membeli es krim yang saat pertama kali launching langsung menarik minat masyarakat, bahkan kini kedai es krim ini punya outlet dimana-mana.

“Kamu ga apa-apa ketemu Marcel?” Pertanyaan pertama yang berat. 

“Kak Jessy dan Bang Ikram sekarang makin kompak mengkhawatirkan aku. Kalau aku mau menemui dia, artinya aku memang sudah siap.”

Ikram mengangguk, kemudian menyeruput es krimnya.

“Tadinya aku mau menyelamatkan Eni dan Mirna yang terjebak diantara kerumunan tawuran. Tapi Marcel mencegah aku tapi, justru dia yang terluka. Aku harus cukup tahu diri untuk sekedar berterima kasih dan menjenguk Marcel.”

“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja.”

“Jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Aku sudah tumbuh jadi wanita kuat sekarang. Aku jadi ikut khawatir kalau Bang Ikram terus memikirkan aku, tapi lupa memikirkan diri sendiri. Bahkan sekarang, Bang Ikram belum menikah. Mau sampai kapan melajang? Nanti Kak Jessy keburu diambil orang,” ucap Nala dengan senyum yang memperlihatkan barisan gigi putihnya.

“Eh? Jangan asal,” kata Ikram yang terlihat salah tingkah.

“Aku sangat tahu kalau Bang Ikram itu sayang banget sama aku. Tapi, kalau Bang Ikram terus sendiri gara-gara mikirin aku, Bang Ikram ga akan nikah-nikah. Kemarin, Bang Ikram belum menikah, karena melihat kondisi aku. Setelah aku menikah, Bang Ikram juga masih sibuk memikirkan rumah tangga aku. Nanti … kalau … aku terluka lagi, apa Bang Ikram masih akan tetap melajang karena memikirkan hidup aku?”

Suara Nala terdengar patah-patah di ujung kalimatnya.

Suara Nala cukup menjadi bukti bahwa ia akan terluka lagi, sesuai ucapannya. Ikram tersenyum, berusaha mengobati luka yang dipendam adiknya.

“Jangan terluka lagi. Kalau ada yang melukai kamu, biar …”

“Ga usah. Bang Ikram ga usah maju buat membalas sakit hati aku. Rasa marah itu ga akan hilang hanya dengan Bang Ikram memukul dia. Waktu sama Marcel juga gitu, kan? Apa kebencian Bang Ikram pada Marcel hilang? Nggak, kan? Malah tambah menderu di hati.”

Lalu lalang kendaraan di depan kedai es krim mulai merayap ramai. Satu dua pengunjung bergantian datang ke kedai, membuat jeda bicara antara Nala dan Ikram.

“Bang … aku, sudah memaafkan Marcel dan aku bertekad membalut masa kelam itu dengan keikhlasan. Aku baru tahu, kalau selama ini Marcel berusaha mencari aku. Berusaha memperbaiki semuanya. Meski tentu saja, dia ga bisa memperbaikinya. Masa remajaku tetap hancur.” Nala menghela nafas. “Tapi, dengan memendam kebencian pada Marcel pun, ga merubah kenyataan kalau masa remajaku hancur. Justru, saat bertekad memaafkan, aku merasa masa lalu itu akan terbungkus dengan cerita baru yang lebih baik. Jadi, aku harap, Bang Ikram juga mau memaafkan Marcel, dan … siapapun yang kelak akan melukaiku. Bantu aku membalut luka dengan keikhlasan, dan bantu aku menciptakan cerita baru yang menyenangkan.”

Ikram memandang Nala dengan sendu. Ia sudah tahu soal niatan Nala dan Rangga yang memilih berpisah dari Jessy. Kedatangannya hari ini, bermaksud menghibur Nala agar kapanpun perpisahan itu datang, Nala tak khawatir. 

Tapi nyatanya, Nala memang sudah berubah. Justru, Ikram yang diingatkan Nala tentang membalut luka dengan keikhlasan. 

Ikram tersenyum meski dengan perasaan sendu. Mengulurkan tangan untuk mengusap kepala adiknya dengan lembut.

Lihat selengkapnya