Surat Yang Tak Terbalas

Lail Arrubiya
Chapter #49

EPILOG

EPILOG


Satu tahun berlalu, setelah Nala dan Rangga resmi bercerai.

Pagi ini Nala merasa gugup setelah sekian lama menunggu. Hari bahagia ini tiba. Dengan balutan baju berwarna peach dan riasan sederhana di wajahnya, Nala menatap ke depan dengan rasa gugup yang tak kunjung hilang. 

Bibirnya tak berhenti melafadzakan asma Alloh, agar hari ini berjalan lancar. Hingga sahutan sah dan hamdalah mengisi seluruh penjuru ruangan ini. Nala ikut berhamdalah pelan dengan air mata yang turun tanpa permisi. Yang lain juga merasakan haru yang sama dengan Nala. 

Semalam, Ikram mendadak sakit. Badannya panas dingin, kepalanya berat. Bukan hanya orang tuanya, Nala juga ikut khawatir melihat kakaknya yang mendadak sakit sehari sebelum hari pernikahannya. 

Ternyata itu sindrom pra nikah yang dialami Ikram. Setelah subuh, Nala kembali melihat kondisi kakaknya, ia bersyukur Ikram sudah lebih baik. Mungkin sudah mendapat wejangan dari Pak Thohir. Atau karena telepon Jessy, yang diberi tahu Nala kalau Ikram sakit.

“Kamu sakit? Haruskah kita tunda dulu akad nikah besok?”

“Jangan … aku … mungkin terlalu gugup.”

Terdengar kekehan Jessy yang renyah.

“Sebenarnya, aku juga gugup. Tapi, gambaran indah tentang masa depan kita membuat aku yakin, kalau besok semuanya akan lancar, Insyaa Alloh.”

Tak ada yang mengira, Jessy yang tomboy bisa sangat lembut di hadapan lelaki yang ia sukai. 

Suka cita kini datang setelah prosesi akad yang mengharu biru. Antrean tamu mulai menyalami pengantin di pelaminan. Salah satu tamu di antrean itu adalah Marcel. Dengan senyum canggung menyalami Ikram yang masih menatap datar dirinya.

Jika bukan demi Nala, tak ingin rasanya ia menerima ucapan dari Marcel. 

Begitu pun orang tua Nala. Sulit sekali menerima ucapan dari orang yang telah menghancurkan masa remaja putri kesayangannya. Tapi kemudian Nala yang melihat segera naik dan menghampiri Ayahnya. Menggenggam lengan Ayahnya. Memberi isyarat lewat tatapannya untuk menerima uluran tangan Marcel. 

“Maafkan saya.”

Uluran tangan Marcel diterima Pak Thohir. Tapi dengan derai air mata. Pak Thohir memang sangat emosional jika itu menyangkut putri kesayangannya yang sudah berkali-kali harus melewati pahitnya tersakiti.

“Bapak memang selalu emosional jika itu menyangkut aku,” kata Nala setelah keduanya turun dari pelaminan.

Masih banyak tamu yang antre untuk menyalami pengantin baru itu.

Marcel mengangguk, mengerti sekali.

“Terima kasih, Nala.”

“Mau berapa kali kamu mengucapkan terima kasih?”

Lihat selengkapnya