"Sini kamu anak nakal," dengan amarah yang memuncak ayah menarik paksa tanganku.
Aku yang hanya bocah kecil berusia 9 tahun hanya bisa pasrah ketika rotan kecil membuat memar dikedua kakiku.
Kugigit bibir menahan rasa pedih yang mendera. Akupun menahan isak supaya kemarahan ayah tak semakin menjadi-jadi. Hanya air mata yang mengalir dari kedua netraku.
Dari sudut mata kulihat Bang Reynal tersenyum sinis. Ia seakan menjadi pemenang setelah berhasil menghasut ayah supaya marah besar lalu menghukumku.
"Kamu apakan buku abangmu? Bukankah sudah ayah bilang, jangan pernah menyentuh barang-barangnya apalagi sampai merusaknya." Dengan wajah bengis ayah menatapku. Muka ayah juga memerah layaknya kepiting yang direbus.
"Ampun, Yah. Bukan aku yang merusaknya," kucoba membela diri.
"Bukan kamu? Lalu siapa? Tak mungkin abangmu itu merusak bukunya sendiri," ayah kembali memukulkan rotan ke kakiku.
"Jangan pukul lagi, Yah. Kaki Dian sakit dan perih" aku memohon agar tak dipukul lagi.
"Lain kali jangan kamu ulangi lagi." Ayah lalu menyimpan rotannya. Alat yang ayah siapkan untuk memberikan hukuman kepada siapapun yang dianggapnya salah.
Aku mengusap-usap kaki yang sakit. Air mata tak juga berhenti mengalir di pipiku.
"Sudah, jangan menangis lagi. Hapus air matamu itu. Kalau anak nakal, memang harus dipukul, biar kamu mengerti," bukannya membelaku ibu malah ikut memarahiku.
Kuhapus air mata dipipi kemudian berdiri dan melangkah ke dapur.
"Rasain, makanya jadi adik itu nggak boleh nakal," kata Bang Reynal sembari mencebik ke arahku.
Reynal adalah abangku. Usianya sekarang 15 tahun. Ibu selalu mengatakan bahwa dia menyayangiku sebagai adiknya, tapi kenapa ia selalu jahil kepadaku, bahkan sampai hati menghasut ayah agar menghukumku.
"Bang, bukan aku yang merusak bukumu. Tadi aku hanya melihat-lihat isinya saja," kujelaskan apa yang kulakukan.
Memang benar, barusan aku hanya melihat bukunya. Tak ada sedikitpun niat untuk merusak. Coraknya yang indah memikatku membalik satu persatu hingga kutemukan bagian yang sudah rusak.
"Terus kenapa bukuku bisa sobek seperti ini?" dia bertanya dengan nada emosi.
"Ya, Dian tidak tau Bang, mungkin saja teman abang yang merusaknya," aku membela diri. "Tadi kulihat memang ada beberapa halaman yang sudah robek."
"Alah, alasanmu saja. Bilang saja kamu irikan, karna aku punya buku baru," cibir abang ke arahku.
"Sudah sudah. Kenapa kalian ribut lagi. Dian kamu sana cuci piring dan kamu Reynal, sana gembalakan kambing." Ibu memberikan perintah untuk melerai pertengkaran kami.
Aku dibesarkan di dalam keluarga petani. Sehari-hari ayahku mengolah sawah dan kebun. Ibuku sering membantu ayah agar pekerjaan cepat selesai. Ayahku akan marah-marah jika ibu tidak ikut bekerja ke sawah ataupun ke kebun.
Walaupun masih kecil tapi aku sudah ditugaskan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan baju, menyapu rumah, memasak nasi dan merebus air. Yang tidak kukerjakan hanya memasak lauk. Ibu belum mau menugaskanku memasak lauk, nanti rasanya tak enak, begitu kata ibu.
Abangku juga mempunyai tugasnya tersendiri. Mengembalakan belasan ekor kambing menjadi pekerjaannya. Sepulang sekolah ia akan makan siang lalu mulai mengembalakan kambing-kambingnya.
Tak banyak waktu untukbermain seperti kebanyakan anak-anak seusia. Kami harus mengerjakan tugas yang diberikan ayah dan ibu. Jika satu tugas saja tidak dikerjakan maka harus bersiap menerima hukuman.
Sebenarnya ayahku adalah ayah yang penyayang. Ia rela bekerja siang dan malam untuk menafkahi kami. Hanya saja sifatnya temperamen dan tak mampu menahan amarah. Jika sudah marah, tindakannya akan di luar kontrol. Selain itu, wataknya juga otoriter, apapun yang dia katakan harus dipatuhi.
Berbeda dengan ayah, ibu adalah seseorang yang penyabar. Ia cuma bisa diam ketika kami dipukuli ayah. Jika membela, maka ibu juga ikut menjadi pelampiasan amarah ayah. Hanyalah air mata ibu yang menetes menandakan ia tak rela anaknya dihukum begitu berat.