Mie instan yang semula akan dijadikan menu makan malam kami berserakan di atas lantai bercampur dengan pecahan mangkuk. Ku usap-usap jari karna kepanasan.
Ayah memandang ke arahku dengan wajah masam. Firasatku mengatakan bahwa ayah akan marah besar lagi. Dan ternyata itu benar adanya. Ayah berdiri dari duduknya, kemudian mengambil rotan dari dapur. Aku berdiri mematung, air mata seketika menetes dari kedua netraku. Sudah bisa dibayangkan hukuman apa yang akan kudapatkan.
"Mana tanganmu?" kupandang wajah bengis ayah, berharap belas kasihan darinya. Mata ayah membelalak sempurna seakan ingin menerkamku. Dengan pasrah kujulurkan tangan kehadapannya.
Plak... Plak... Plak... Pukulan demi pukulan sukses kuterima. Kedua tanganku rasanya nyeri dan meninggalkan tanda merah bekas pukulan rotan.
"Makanya kalau membawa makanan itu hati-hati. Sudah sana, bersihkan semua mie yang kamu tumpahkan itu!" titah ayah menyudahi hukumanku.
Tanpa menunggu lagi, kubersihkan mie instan yang berserakan, lalu membuangnya ketempat sampah.
Hening... Aku tak berani bersuara karna takut nanti akan memancing kemarahan ayah lagi. Begitupun dengan Bang Reynal, ia menunduk menikmati makanannya. Kami makan malam hanya dengan telur balado.
"Mana tugas yang tak kamu mengerti?" Bang Reynal bertanya kepadaku setelah kami selesai makan malam.
"Ini Bang, aku tak paham mengenai penjumlahan yang ini," kataku sambil menyerahkan buku matematika.
Pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sukar. Aku selalu kesulitan mengerjakan tugas yang diberikan guru hingga seringkali meminta tolong untuk diajari kembali oleh Bang Reynal.
Bang Reynal jauh lebih pintar dariku. Ia selalu mendapatkan juara kelas. Kami bagaikan bumi dan langit. Aku selalu menjadi penutup rangking di kelas. Hal itu jugalah yang sering menjadi pembicaraan ibu. Bang Reynal selalu jadi kebanggannya, sedangkan aku dipandang sebelah mata.
"Kamu sudah pahamkan?" Bang Reynal bertanya padaku setelah menerangkan kembali pelajaran matematika.
"Sudah Bang. Terima kasih, ya," memang butuh beberapa kali penjelasan barulah aku bisa mengerti.
Lega rasanya karna sudah memahami pelajaran dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru. Besok tugas ini bisa dikumpulkan.
"Rey, nanti jangan lupa mengunci semua pintu, ibu tidur duluan ya," pesan ibu kepada Bang Reynal. Ibu kelihatan sangat lelah.
"Iya, sebentar lagi Rey kunci, Bu. Ini masih ada beberapa tugas yang harus Rey kerjakan," jawab Bang Reynal.
Dihadapannya terdapat beberapa buku yang isinya penuh dengan rumus-rumus. Melihatnya saja kepalaku sudah pusing. Tak bisa dibayangkan bagaimana nanti ketika aku sudah ditingkat Bang Reynal, pasti aku cepat menyerah.
Tugasku telah selesai. Aku memutuskan untuk duluan tidur dari Bang Reynal. Mata ini sudah mengantuk sekali.
***
Ketika adzan subuh berkumandang, ibu akan membangunkan kami. Usai melaksanakan shalat subuh, kami bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tak jarang kami berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Uang jajanpun sering absen mengisi saku.
Jarak sekolah lumayan dekat dengan rumah sehingga aku bisa berjalan kaki. Sedangkan sekolah Bang Reynal cukup jauh yang mengharuskannya naik angkutan umum setiap hari.
"Bang, tungguin aku Bang," aku mengejar Bang Reynal dari belakang. Bukannya berhenti ia malah terus berjalan.
"Ayo cepetan, Abang sudah telat ini," semakin lama langkah kaki Bang Reynal semakin cepat. Aku akhirnya menyerah mengejar Bang Reynal.
Semangatku tak pernah luntur menimba ilmu. Pakaian yang lusuh dan usang sedikitpun tak menyurutkanku untuk berangkat ke sekolah. Banyak hal yang ingin kupelajari dan kuketahui. Selain itu, aku bisa bermain bebas dengan taman sebaya dan lepas dari tugas-tugas yang membelenggu.