Surau Tuo

Harli Handa Hidayat
Chapter #2

Suatu pagi di halaman Surau

Alahan panjang , 12 dzulhijjah. Pagi kembali hadir setelah malam terang berhias purnama berlalu. Semburat rembulan sisa semalam masih meninggalkan bekas di atas sana, embun yang bening belum pula ia mengering masih bergulir-gulir manja di dedaunan hijau. Satu embun itu jatuh menimpa bumi, kala angin pagi menggoyangkan dahan. Semburat jinggapun mewarnai belahan timur bumi, ayam dan burungpun silih berganti berkokok dan bersiul saut sautan. Garin suraupun masih betah berlama-lama membalik lembaran suci di posisi paling nyamannya. Dingin. Selain karena memang di kampung kecil ini mentari terlambat menghangati, ini juga rayuan setan yang menambah-nambah rasa dingin itu setiap pagi. Tapi itu anggapan saya saja, sebuah kesimpulan dari pengamatan yang berulang setiap harinya.

Di halaman surau telah berdiri empat orang remaja mengelilingi kobaran api yang menyala. Seperti biasanya, habis mengaji usai shalat subuh. Menjelang berangkat ke sawah dan ke ladang. Sepotong cerita mereka mengenai keberangkatan kawan selapiak sekatiduran mereka. Telah dua hari ini itu saja pokok bahasan mereka. Tentang akan seperti apa bujang ketek itu di luasnya bentangan samudera pasir. Tentang olokan mereka menyuruh ia mandi di sungai Nil layaknya mereka mandi di batang air belakang surau setiap sore hari. Hingga angan – angan tentang bujang ketek itu akan menemukan gadis pujaan nya di negeri Musa itu. Terlihat wajah – wajah canggung mereka kian jelas. Ya terhitung tiga hari dari sekarang bujang ketek itu akan menempuh perjalanan panjang menuju tanah mesir untuk melanjutkan sekolahnya. Al-azhar. Tentu tak asing lagi bukan? Ia, bujang ketek yang mengenakan baju tebal hitam dengan seboh itu tiga hari lagi ia akan pergi. Jangan tertipu oleh badannya yang kecil, semangat dan pemberaninya sangatlah besar melebihi dua atau tiga kali ukuran tubuhnya. Pernah suatu hari ia melumpuhkan babi hutan yang tingginya dua kali darinya sendirian. Kala berburu di subarang balai sekitar dua tahun yang lampau. Kala itu ia sendiri menghadapi babi itu berbekal setangkai galah maja nya, semua orang berteriak dari segala arah menyuruhnya untuk lari. Tapi ia tak bergeming barang sedikitpun. Semakin sangar babi itu melihatnya, kian menakutkan juga ia menatapnya. Selang sekian detik babi itu menanduknya. Ia terpelanting ke bawah tebing dengan tinggi kurang lebih tiga empat meteran. Orang kira telah tamatlah ia di bawah sana, melihat darah yang bersimbahan. Tapi ia bergerak, berusaha menyigkirkan mayat babi busuk itu yang menindihnya. Orang yang menyaksikannya terpana dibuatnya. Menganga saja mulut mereka itu. Ternyata darah babi itu yang bersimbahan di tikam oleh galah bujang ketek itu. Itu baru lah satu cerita tentang keberanian bujang bertubuh kecil yang kini telah mantap ingin merantau ke ranahnya para nabi. Perahunya telah siap dengan layar yang kokoh. Oh lupa saya perkenalkan teman kita ini, terlalu bersemangat saya menceritakan kejadian – kejadian menarik tentang dirinya yang membuat saya selalu ingin menemuinya. Sudahlah, nanti akan ketahuan saja dengan sendirinya setelah kisah ini berjalan dengan sendirinya. Baiklah, akan saya perkenalkan satu persatu. Adalah ia Hamdan, bujang ketek yang baru saya ceritakan tadi itu. Ia anak Engku datuk Majo Lelo, orang terpandang di kampung ini. Terkenal karena belaiau adalah seorang yang baik budi, pandai dalam bergaul, namun keras juga dalam menindak kebatilan. Pernah ia menghajar tiga orang penyamun yang kedapatan tengah membawa lari sapi dan kerbau warga sendirian dengan tangan kosong. Memang disegani orang ramai Engku datuk ini. Hal itu pula lah yang kiranya menurun ke diri Hamdan.

Anak bujang berbadan agak berisi itu bernama Hafiz, anak pertama dari lima bersaudaura. Anak dari Bah Darlis si touke sapi. Orang yang terkenal kaya telah berulang kali bolak balik ke tanah suci Makkah. Beliau tidaklah kikir,murah saja memberi pada orang yang fakir dan miskin, barang kali karena itulah uangnya tak pernah berkurang. Bahkan selalu bertambah. Peternakan nya saja bukan main luasnya. Sapi – sapinya dibiarkan saja berkeliaran merumput sesuka hati, banyaknya bukan sepuluh duapuluh tapi ratusan ekor. Sampai – sampai belaiupun tak bisa lagi menghitung dengan pasti berapa jumlah sapi – sapinya itu. Hafiz Pandai dalam berhitung, apalagi berhitung masalah uang. Akan meningkat sekali kemampuannya itu. Badannya yang berisi itu sangat menggambarkan ia anak orang berada, hanya saja kulitnya yang agak gelap, ditambah sedikit dengan hidung yang mancung ke dalam. Kurang disitu saja. Selebihnya jangan ditanya. Disamping Hafis, berdiri Airil. Mengenai Airil ini, agak canggung saya bercerita. Takut akan kurang tepat kata – kata saya untuk menceritakan anak kemenakan dari siapanya dia. Takut lagi akan menyinggung perasaannya saya nantinya. Sedikit saja tentang dia, Airil kemenakan dari Engku yang sangat ternama pula. Namun, kurang baik pandangan orang – orang di kampung ini akan pekerjaan mamaknya itu. Lintah darat kata orang disini. Mengenai bapaknya, sudah lama pula tak nampak di kampung ini. Mandehnya, sudah lama meninggal karena sakit keras ditinggal laki yang berpulang ke rumah wanita lain. Namun jangan salah sangka tuan dan puan akan Airil ini. Ia remaja yang elok laku. Bahkan ia sudah hapal lengkap semua surat – surat dalam al quran. Berkali – kali ia menjadi khatib pada hari raya. Menjadi guru undangan mengaji. Jauh sekali sikap dan kelakuan buruk itu dari dirinya. Ada pesan saya jika kelak tuan ataupun puan berjumpa dengannya. Jangan tanyakan mengenai bapaknya. Karena itu akan melukai hatinya yang putih itu. Ia akan menangis sejadi – jadinya dalam biliknya seharian. Mengenai hal itu, tentu tuan dan puan maklum. Kita tinggalkan dahulu Airil, kita berpindah pada bujang yang di sebelah kanan Hamdan. Namanya, Rahli. Rahli Sabana Tanjung. Orang – orang memanggilnya si Kitiang, karena rambutnya memang keriting. Saya memanggilnya sama seperti orang ramai sajalah, biar lebih akrab dan terbiasa juga. Kitiang, remaja ini agak berlain lagi cerita hidupnya. Tinggal dan dibesarkan oleh keluarga ayahnya, di Minang keluarga ini disebut keluarga bako. Mandehnya juga telah meinggal, tapi bukan karena bapaknya pulang ke rumah perempuan lain, bukan. Mandehnya meninggal sewaktu ia berumur dua atau tiga tahun lah. Karena sakit aneh yang dideritanya. Sedikit cerita tentang mandeh si Kitiang. Namanya Siti Maryah. Gadis cantik yang sangat terkenal di kalangan lelaki sebayanya, banyak lelaki yang hendak mendjadikannya istri. Mulai dari yang tampangnya biasa saja sampai ke lelaki paling tampan di kampung ini. Mulai dari si miskin hingga si kaya yang bergelimang harta. Mulai dari yang muda hingaa duda beranak dua sampai lima. Namun, semuanya ia tolak. Ia tetapkan hati pada seorang lelaki dengan keadaan pas – pasan. Tampang, harta semuanya pas – pasan. Sedikit yang berlebih dari lelaki itu. Agamanya, ia garin di surau, pandai azaan, imam, hingga bercermah. Ialah ayahnya Kitiang, Ruslan. Kata orang – orang, mandehnya ini kena sakit kiriman orang yang tak senang dengannya. Mandehnya Kitiang ini, semasa hidupnya adalah pedagang yang sukses, banyak toko nya. Beratus bentuk usahanya. Beberapa pesaingnya merasa tak suka dengan kesuksesannya itu. Berbagai cara merela lakukakn untuk menjatuhkannya. Mulai dari hasung fitnah, membakar toko, mencuri barang dagangan, tapi tak juga berhasil. Hilang satu hari ini, dapat tiga ia hari esok. Terbakar satu toko pekan ini. Berdiri empat toko pekan setelahnya. Siapa yang takkan senang berbisnis dengannya, ia pandai dalam bergaul, tak curang dalam takaran, jujur dalam berkata, dan murah tangan untuk memberi. Bak air mengalir saja uang masuk setiap hari padanya. Namun sayang, di balik kebaikannya itu ada saja orang yang tak senang terhadapnya. Benar rupanya kata orang bijak ‘ dimana ada Muhammad disana Abu jahal berdiri’, dimana ada orang baik, disana juga orang jahat berdiri. Suatu subuh kala itu – kata orang yang katanya melihat kejadian itu- ada dua tiga laki – laki memakai sarung yang menutupi wajahnya memasukkan ular yang telah dibacai mantra ke dalam toko yang ditunggui Siti dan Ruslan suaminya. Ada yang mengasapi ular jadi – jadian itu, ada juga yang menuangkan darah ayam hitam di sekeliling toko itu. Tapi entah lah benar atau tidaknya. Tak lama setelah pagi subuh itu, terdengar kabar lah Siti Maryah jatuh sakit. Sakitnya memang terlihat aneh, dalam dua hari telah nampak berubah pada diri siti. Kakinya mengecil hingga tinggal tulang dibalut kulit. Wajahnya sembab bak disengat lebah. Tak kuasa saya menjelaskan keadaan mandeh nya Kitiang ini semasa sakitnya. Bukan saya saja yang begini, orang – orang yang menemuinya semasa sakitnya akan jatuh berlinangan air matanya mengingat perempuan yang baik itu harus mendapat cobaan seperti itu parahnya. Lima hari saja Siti menderita sakit, hari jumat tanggal ke duapuluh lima di bulan Sya’ban ia berpulang ke pangkuan-Nya. Ramai orang – orang datang bertakziah pada hari itu. Tak muat orang – orang di rumah gadang yang lapangnya sepuas kuda berlari itu. Berduyun – duyun orang yang mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Ber baskom – baskom air mata yang berjatuhan dari pelayat sehari itu. Selama ini, baru sekali itu saya menyaksikan ramainya orang datang membesuk orang mati. Mungkin ini tak lepas juga dengan kebaikan Siti selama hidupnya. Ah, sudahlah samapi disini saja cerita tentang Siti Maryah mandehnya Si Kitiang ini. Jika benar ia meninggal karena diguna – guna seperti yang dikatakan orang ramai, mati terkutuklah orang yang melakukan itu. Semoga dia, Siti Maryah di tempatkan di sisi - Nya dan diberi balasan yang setimpal dengan segala kebaikannya semasa ia hidup. Berlinang juga air mata dibuat olehnya, mengingat kejadian puluhan tahun itu. Kita sudahi saja dahulu.

Tentang perihal Ruslan ayahnya si Kitiang, sekarang masih melanjutkan usaha yang dulu. Namun tak sejaya semasa Siti istrinya masih ada, tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan si Kitiang , ibu dan adiknya yang menjadi tanggungan. Beberapa toko sudah dijual karena tak mampu lagi diurus sendiri oleh Ruslan. Ditambah lagi keadaan Ruslan yang sering sakit selepas istrinya meninggal. Habislah uang – uang itu untuk biaya berobat. Ada satu hal yang orang – orang kagumi dari Ruslan ini. Tentang ia yang tak pernah menelantarkan anaknya. Jarang sekali kita menemui lelaki seperti dia, yang akan mau mengurusi anak seorang diri saat badan masih muda kala ditinggal mati istri. Dari sepuluh mungkin hanya satu orang saja yang memiliki sifat sebaik Ruslan ini. Bahkan saya sendiri menemuinya, hari ini istrinya mati pekan yang datang telah terdengar kabar ia telah beristri lagi. Masalah anak tidaklah terpikir olehnya, dengan siapa akan tinggal? akan makan dengan apa? tak masukk diakalnya. Hingga terkatung – katunglah nasib si anak itu.

Beruntung dengan si Kitiang yang mendapat kasih yang cukup dari ayahnya dan juga keluarga bakonya. Padahal bukan lah hal yang lazim di tanah beradat ini anak pisang di besarkan oleh bako. Hingga kini kitiang tak pernah kurang perhatian. Selalu saja merasa cukup. Kitiang ini agak berlain sedikit dari tiga orang yang telah kita ceritakan tadi. Kisahnya sangat panjang, yang akan membawa kita pada cerita mereka yang lain itu. Memang tidaklah sama dengan kawan – kawannya yang bertiga itu. Kitiang ini tidaklah dilimpahi kemewahan latyknya Hafiz, ataupun memiliki segudang prestasi serupa dengan Airil, pun tidak punya keberanian yang besar seperti si Hamdan. Ia lebih pada sorang lelaki yang pengiba, mudah saja ia meneteskan air matanya. Sedikit saja melihat hal – hal yang menyentuh hati, langsung berlinang air matanya. Ia senang dengan dunia tulis – menulis, membaca dan mendengarkan syair – syair yang menyengsarakan itu. Sudah segudang buku – buku bacaannya. Roman, kumpulan syair- syair, hingga kumpulan cerita rakyat dan cerita kancil penghantar tidur. Tak banyak lagi kita temui anak muda yang senang membaca di jaman modern ini. Beberapa tulisannya juga pernah dimuat di surat kabar.

Balik lagi kita ke halaman Surau yang kita tinggalkan tadi.

Tidak banyak cerita mereka di pagi itu. Lebih banyak diam. Entah kesedihan apa yang mereka rasakan. Mungkin akan tergamang mereka berpisah dengan kawan erat sejak kecil. Kawan mengaji di surau, kawan berlatih dalam silat.

Lihat selengkapnya