Di rumah sakit ada tiga macam akses naik-turun antar lantai: tangga, ramp dan lift. Lift adalah yang paling disukainya–terutama pintu yang membuka dan menutup secara otomatis setelah menekan tombol. Katanya, saat lift bergerak naik dan turun, rasanya seperti bermain jungkat-jungkit raksasa.
▬▬▬
Saat menemukan sesuatu di jalan–uang koin, misalnya–aku akan memikirkan alasan kenapa dan bagaimana itu bisa ada di sana. Bagaimana koin itu bisa jatuh bergulir dan tersesat sehingga tidak ditemukan pemiliknya? Atau saat melihat kepompong di tanaman stroberi. Kemanakah kupu-kupu akan hinggap setelah merasakan terbang untuk pertama kali? Berapa lama kupu-kupu terbang saat baru pertama kali? Sedangkan saat menemukan lagu indah, aku akan memutarnya berulang-ulang. Jika aku diberi kesempatan memiliki sayap, aku mungkin tidak akan pernah lagi mendarat setelah merasakan terbang. Ini adalah pemikiran serakah milikku yang ingin terus bahagia–karena kupu-kupu bahkan perlu mendarat untuk bertahan hidup.
Saat sedang merasa tidak bahagia, memikirkan sesuatu yang menyenangkan ternyata bisa membuatku bahagia. Dengan begitu aku setuju bahwa bahagia ternyata memang sederhana. Sayangnya, itu adalah kesadaran yang bisa didapat saat kehidupan seseorang berada di titik rendahnya. Sekarang aku mengerti kenapa seseorang yang tidak pernah merasakan perjuangan justru minim empati–karena aku pun pernah begitu. Satu pertanyaan yang aku simpan hingga aku menulisnya di sini: Kenapa seseorang diajari untuk melihat orang-orang yang lebih lemah atau lebih rendah agar bisa merasa bersyukur? Pertanyaan tambahan: Orang paling rendah di muka bumi, akan bisa merasa bersyukur atas sebab apa? Dan orang yang selalu berada di paling atas, apakah dia benar-benar bisa merasa bersyukur? Kadangkala aku tidak berani bertanya karena takut dihakimi.
Di tengah ketidakberdayaan yang menimpa adikku, aku jadi mengamati banyak hal. Pemikiranku seakan terbuka dan mulai ingin tahu tentang segalanya sekecil apapun itu. Dunia dan sebagian isinya termasuk kenapa Zidni tidak bisa bergerak padahal sebelumnya itu adalah hal yang biasa baginya. Yang ditakutkan pada waktu itu adalah apabila kemungkinan terburuk terjadi. Jika bunga yang layu dapat diberi kehidupan kembali, akupun percaya bahwa selagi masih ada kesempatan, memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
▬▬▬
Beberapa saat setelah bangun tidur pada pagi di tanggal 11 November 2016, Zidni menatap ke arah pintu. Di luar sana, orang-orang berlalu-lalang dengan mudahnya. Zidni menyadari bahwa tidak hanya mainan yang bisa rusak, tapi manusia juga. Namun, yang Zidni alami tidak sesederhana kehabisan baterai. Meskipun terlalu mendadak, tapi pasti ada alasan yang membuatnya bernasib seperti ini, bukan?
Ada satu hal yang membuat Zidni bingung pada pagi ini. Saat ibu membuka tirai tempat tidur, Zidni melihat dua tempat tidur pasien yang seruangan dengannya ternyata masih kosong. Kemana perginya pasien baru yang semalam sempat mengobrol dengannya? Atau jangan-jangan itu juga mimpi? Zidni pikir itu tidak mungkin mimpi karena dia mengingatnya dengan sangat jelas. Maka ia tanyakan soal itu kepada ibunya. Setelah ibunya memberitahu bahwa tidak ada pasien baru, Zidni merenung sendiri. Mimpi di dalam mimpi itu memang ada, kan? Zidni seakan membuat kesepakatan dengan pikirannya sendiri: Yang semalam terjadi anggap saja mimpi.
Zidni dikejutkan dengan ucapan syukur sang ibu. Zidni tiba-tiba dipeluk dan dicium. Zidni bahkan tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memahami situasinya setelah beberapa saat bingung. Ibu ternyata bersyukur setelah melihat Zidni ternyata sudah bisa menolehkan kepala. Zidni tentu saja senang karena sekeping kebebasan akhirnya kembali ia dapatkan. Tidak apa. Sembuh sedikit demi sedikit jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menjelang siang, Zidni bosan. Dia tidak menyangka akan ada banyak sekali orang yang datang mengunjunginya di jam besuk. Siang ini banyak ibu-ibu dari kampungnya yang datang membesuknya ke rumah sakit. Semuanya menanyakan keadaannya. Beberapa menangis saat ibu bercerita soal penyakit Zidni yang belum jelas termasuk perjuangan yang tiada henti sebelum Zidni dibawa ke rumah sakit–dan itu dilakukan berulang-ulang setiap pembesuk menanyakan hal yang serupa.
Tempat tidur Zidni dikerubungi. Setiap pembesuk memberi doa, memintanya jangan sedih bahkan menangisinya seolah-olah Zidni adalah orang paling malang di bumi. Tujuan mereka memang baik, tapi karena terus begitu, Zidni jadi bertanya-tanya kapan jam besuk berakhir. Dia sungguh bosan. Dia pasti sudah kabur jika tubuhnya bisa bergerak sepenuhnya. Di balik kerumunan itu, Zidni melihat kakak perempuannya, Lima berjalan masuk. Begitu melihat ekspresi Zidni, wanita muda berhijab yang selalu mengenakan pakaian terusan berwarna gelap agar terlihat ramping itu tertawa terbahak di tengah orang-orang yang sedang bersedih.
Di tengah tawa seraya menunjuk Zidni, Lima mengejek, “Hahahaha. Mukanya bete banget.”
Ibu lekas menegur, “Ssstt …! Di rumah sakit jangan berisik!”