Jika mimpi adalah negeri pribadi yang masing-masing orang memilikinya, kamu ingin menamai apa negerimu? Jika kamu diberi kesempatan mengundang satu orang saja ke mimpimu, kamu ingin mengundang siapa? Material mimpi apa yang akan kamu pilih untuk membangun mimpimu jika hanya ada tiga pilihan: cokelat, awan, atau permen?
▬▬▬
Ada yang bilang bahwa mimpi adalah manifestasi sebuah keinginan tak tercapai dari pemimpi. Ada juga yang bilang bahwa mimpi adalah gambaran pikiran dan emosi dari pemimpi. Namun, bagaimana jika mimpi adalah mengunjungi suatu tempat yang ternyata ada? Yang aku pikirkan setelah mendengar cerita Zidni: Jika mimpi adalah sebuah ruang, maka tidak menutup kemungkinan jika ruang itu bisa dimasuki. Atau sebenarnya yang dialami Zidni bukanlah mimpi, tapi kesadarannya yang dibawa ke suatu tempat oleh sesuatu?
Hati manusia diciptakan misterius dan hanya bisa dinilai dari tindakan. Namun, isi hati manusia siapa yang bisa membaca? Ada manusia yang berani bertindak kriminal, tapi tidak ingin terjerat hukum negara. Mengirim sesuatu dari dunia lain, misalnya. Sehingga seseorang bisa menghilang dari dunia tanpa siapapun tahu bahwa orang itu penyebabnya. Seseorang ingin bertindak baik agar diakui baik, tapi tidak segan-segan berbuat salah asal tidak ada yang tahu. Berapa banyak kiranya manusia yang rela mempertaruhkan integritas diri demi mendapat kepuasan duniawi?
Hari berikutnya, Zidni bertemu lelaki yang mirip dengan yang datang ke mimpinya. Katanya, mimpinya berubah setelah lelaki itu datang ke mimpinya. Jika lelaki itu adalah penguasa negeri mimpi dan bisa mengendalikannya, maka tampaknya Zidni akan membutuhkannya untuk memberi warna di mimpinya yang didominasi kegelapan.
▬▬▬
12 NOVEMBER 2016
Pagi menjelang siang, Zidni kembali mengeluh bosan. Lima yang masih di sana pun menawarkan kursi roda lagi dan membawa Zidni ke lobi lift seperti kemarin. Lima pikir Zidni ketagihan kesana karena pemandangannya yang indah. Ternyata Zidni lebih tertarik dengan lift. Kejadian yang serupa kemarin pun kembali Zidni saksikan. Dia melihat lelaki berseragam SMA yang sama, di lift dan banyak bicara kepada para pasien dan petugas medis. Berisik, tapi kenapa tidak ada yang menegur?
Kursi roda Zidni mengarah ke dinding kaca, tapi dia lebih memilih memandangi lift. Dia terus menunggu lift terbuka di lantainya agar bisa mengamati lelaki berseragam sekolah yang terus menetap di dalam sana. Zidni terus membandingkan lelaki itu dengan yang hadir di mimpinya semalam. Bukan mimpi namanya kalau mudah diingat, bukan? Mungkin inilah alasan kenapa mimpi tidak mudah diingat dan selalu samar: Agar sulit ditebak jika yang ada di mimpi ternyata berasal dari dunia nyata. Atau mungkin tidak berasal dari dunia nyata, tapi mimpinya memang nyata? Memusingkan memang. Zidni memutuskan untuk bertanya kepada kakaknya yang sibuk duduk di lantai dan membaca buku.
“Kak Lima,” panggilnya.
“Apa?” sahut Lima tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Kakak dengar nggak? Ada orang di lift yang terus bicara kepada pasien.”
“Mereka perawat,” kata Lima.
“Bukan yang perawat!”
“Kalau begitu keluarga pasien.”
“Bukan keluarga pasien!”
Lima akhirnya memalingkan padangan dari buku dan memandang adiknya. Dia bicara seraya menahan kesal, “Orang gila mana yang ngobrol sama pasien kalau bukan perawat atau keluarganya?!” Kemudian dia berpikir lagi, “Ah, mungkin pengunjung?”
“Tapi lift itu tidak boleh dipakai pengunjung,” kata Zidni.
Lima kehabisan kesabaran dan mendengus kesal. “Mana aku tahu! Jangan tanya aneh-aneh! Kan? Kan? Kan? Kakak jadi kebelet pipis gara-gara kamu.” Dia menutup buku kemudian beranjak dan meninggalkan bukunya di lantai.
“Kok gara-gara aku?”
“Kakak mau ke toilet. Kakak tinggal sebentar, ya? Kamu berani sendiri, kan? Sebentar aja kok. Janji.”
“Berani dong. Memangnya aku anak kecil?”
“Memang.”
Lima mengusak rambut Zidni gemas sebelum pergi. Zidni yang tidak bisa melawan pun hanya bisa membiarkan rambutnya dibuat berantakan oleh kakaknya. Setelah Zidni ditinggalkan sendirian, terdengar suara yang menandakan lift telah tiba di lantai tempat Zidni berada.
Ting!
Pintupun terbuka dan lelaki berseragam SMA yang Zidni nantikan masih ada di sana. Kali ini hanya ada lelaki itu seorang–berdiri memandang Zidni seraya tersenyum sangat ramah. Untuk pertama kalinya, Zidni melihat lelaki itu keluar dari lift dan datang mendekatinya.
“Hai,” dia menyapa.
Zidni masih merasa bahwa suara itu memang tidak asing di telinganya. Kira-kira siapa? Zidni tidak ingat kalau ada pengunjung murid sekolah karena mayoritas yang datang membesuknya adalah wanita paruh baya. Zidni kemudian menyadari bahwa dia belum membalas sapaan lelaki itu. Sejak tadi dia hanya melihat lelaki itu yang datang menghampiri kemudian duduk bersila di lantai di samping kursi rodanya.
Zidni tetap membalas meskipun terlambat, “Hai, Kak.”
Lelaki berseragam SMA itu bertanya setelah menyampirkan dasinya yang panjang ke bahu, “Kamu bisa melihatku? Sejak kemarin?”
Zidni membalas dengan bertanya, “Memangnya orang lain tidak melihat kakak? Padahal kakak kan berisik? Kak Lima pasti sudah dimarahi ibu kalau seberisik itu.”
“Iya, ya? Kenapa, ya?” kata lelaki itu seolah-olah dia tidak tahu.