Ruang dengan segala kemustahilan yang berada di alam bawah sadar manusia, bagaimana jika milikmu berada di bawah kuasamu? Pernahkah kamu berpikir tentang bagaimana jadinya jika mimpi buruk dan mimpi indah bertarung?
▬▬▬
Katanya, kebahagiaan itu jangan ditunggu, tapi diciptakan. Setiap mendengar ini, aku selalu bertanya ‘bagaimana caranya’ karena bahagia yang aku tahu pasti akan disertai alasan. Aku mempelajari caranya saat aku menghibur adikku. Jika aku bisa memikirkan cara untuk menghibur orang lain, maka sepertinya aku pasti bisa memikirkan cara untuk menghibur diriku sendiri. Mencari alasan sendiri untuk mengubah suasana hati ternyata cukup mudah, misalnya dengan menonton film dan mengamati alur ceritanya, atau mendengarkan lagu dan memahami arti lirik lagu yang seringkali bercerita, atau melihat lukisan di museum seni yang jika diamati akan membangkitkan imajinasi baru.
Aku rasa benar jika mimpi memang selalu lebih menarik dari realita–termasuk mimpi buruk. Saat bermimpi indah, aku akan bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk mengalaminya. Saat bermimpi buruk, aku akan bersyukur karena itu hanya mimpi. Aku pernah sangat percaya bahwa mimpi merupakan sebuah tanda. Namun, saat aku memberitahu orang lain soal ini, mereka selalu bilang:
“Jangan percaya mimpi. Itu tidak baik.”
Selayaknya menulis diary karena merasa tidak punya pendengar, sesekali aku akan menulis setiap mimpi yang aku ingat. Terkadang mimpiku sendiri yang memberiku inspirasi atas tulisan fiksi yang aku buat. Satu hal yang sempat terpikirkan: Mimpi adalah fiksi. Apakah mimpi itu memang fiksi? Sedangkan aku sering memanfaatkannya untuk berimajinasi lebih jauh lagi. Namun, pada suatu hari aku pernah bermimpi begini:
Aku bertemu seorang wanita berpakaian gaun merah selutut tanpa lengan, rambut panjang tebal yang mengombak dan lipstiknya semerah warna pakaiannya. Dandanannya mirip dengan wanita-wanita seksi di film jaman dulu. Dalam mimpiku, dia menghadang jalanku kemudian bicara dalam bahasa daerah: Nyong ke maene deke. Yang artinya ‘aku adalah ibumu’. Dia mengajakku berjabat tangan. Aku menjabat tangannya seraya terheran-heran. Siapa wanita ini? Kenapa mengaku ibuku? Selepas berjabat tangan, dia memberitahu sesuatu dengan bahasa yang sama: Gegere nyong ke bolong. Yang artinya ‘punggungku berlubang’.
Aku kemudian terbangun dari tidur dan mencium aroma wangi yang asing di kamarku. Karena merasa aneh, aku bergegas keluar kamar. Setelah beberapa bulan berlalu, aku diberitahu bahwa ternyata sosok wanita itulah yang telah mengganggu adikku.
▬▬▬
Setelah menembus portal yang diciptakan oleh wanita misterius bergaun merah, Navin masuk ke dunia kegelapan yang aneh. Dia berada di hutan yang hanya diterangi cahaya bulan. Namun, pohon-pohon terlalu rapat dan rindang sehingga sangat minim cahaya.
Navin bergumam, “Jika wanita itu menciptakan dunia yang gelap, aku akan jadi penerangnya.”
Dia mengeluarkan semacam gulungan tipis dari saku seragamnya. Panjang gulungan sekitar satu meter meskipun dalamnya saku seragam sekolah hanyalah beberapa senti. Gulungan tersebut kemudian dibentangkan di atas tanah. Navin melakukannya seperti sedang menggelar karpet sehingga gulungan itu terbentang sangat panjang dan berpendar cahaya. Benar-benar sangat panjang sampai tidak terlihat dimana ujungnya. Wujudnya mirip karpet merah panjang, tapi ini bukan karpet. Warnanya pun putih dan hitam. Warna putih lebih dominan dan bergaris-garis monoton. Jika dilihat lagi, itu bukanlah karpet melainkan papan piano yang meliuk-liuk menghindari pepohonan untuk membuat jalan. Garis-garis yang ada adalah garis batas tuts yang mana jika tuts diinjak maka akan berbunyi. Saat Navin melewatinya, langkahnya pun terdengar bernada.
Navin menikmati perjalanannya. Sesekali dia akan mempercepat langkah atau melambatkannya demi menciptakan sebuah melodi. Atau, dia akan menyempatkan diri untuk berhenti sebentar sekadar untuk menekan satu tuts secara berulang dan terus menerus. Atau, Dia akan kembali melangkah dan melompati beberapa tuts. Langkahnya berhenti setelah keluar dari hutan dan langit malam mulai terlihat. Jalan piano yang dia ciptakan ternyata mengarah ke puncak bukit. Saat menengadah ke langit, dia melihat garis tipis aneh berpendar merah yang tampak seperti tali. Tidak hanya satu. Ada empat tali dari empat arah berbeda yang bertemu di satu titik yang sama yaitu puncak bukit. Salah satu ujung setiap tali ada di puncak bukit sedangkan ujung yang lainnya tidak terlihat karena terlalu jauh. Navin kemudian berlari melewati lintasan piano yang telah menunjukkannya jalan. Di bidang miring, jalan piano terbentuk seperti tangga. Suara melodi piano pun terdengar begitu cepat karena Navin berlari.
Navin tiba di puncak bukit dan menemukannya. Titik pertemuan keempat tali ternyata adalah Zidni. Keempat tali itu melilit erat kedua kaki dan kedua tangan Zidni–saling menarik sehingga Zidni melayang di udara karena ditarik dari empat arah. Navin mengamati. Lilitan tali-tali itu memberikan luka bakar di kulit Zidni sampai berasap. Di alam ini pun Zidni tampak setengah sadar. Meskipun begitu, Navin mencoba mengajaknya bicara.
“Zid? Kamu dengar aku?”
Sepasang mata Zidni setengah terbuka lalu dia merespon parau, “S-sakit …”
“Aku akan membantumu.”
“Kak Navin … kenapa … mimpiku … selalu … sama?”
“Zid, selain ingin dilepaskan dari jeratan ini, kamu ingin apa lagi?”
“Aku … hanya … ingin … sehat.”
Navin berencana melepas ikatan Zid satu persatu. Ia amati ujung tali di kejauhan sana yang tidak tampak karena terlampau jauh. Ia genggam tali di luar kaki Zidni kemudian ia tarik untuk mengendurkan. Ia pun mulai melepas tali mulai dari kaki kanan. Kelihatannya seperti tali, tapi saat dilepas ternyata cukup berat seperti kawat besi. Meskipun begitu, Navin berhasil melepasnya. Dengan cara yang sama dia melepas jeratan di kaki kiri dan tangan kanan Zidni. Saat ingin melepas yang tersisa, ada yang menarik tali itu sehingga Zid tertarik sampai ke langit. Zidni pun sadar sepenuhnya dan sontak berteriak meminta pertolongan.