Surealis Bawah Sadar

Lukita Lova
Chapter #6

Lucid Dream

Mimpi adalah ekstasi. Mampu menghadirkan euforia selama waktu tidur. Berbahaya. Terkadang membuat seseorang tidak ingin bangun lagi.


▬▬▬


Fenomena menarik yang kemungkinan dialami setiap individu terkait mimpi adalah lucid dream. Pertama kali mengalaminya, aku merasa itu sangat keren. Aku sempat sering mengalaminya sampai tak terhitung. Ketika seseorang berada di titik terendah mereka, lucid dream adalah salah satu yang paling adiktif. Rasanya, aku ingin terus tidur dan hidup di dalam mimpi saja demi menghindari realita yang pahit. Jika itu mimpi indah, aku ingin menetap di sana selama mungkin yang aku bisa. Jika itu mimpi buruk yang membuatku ketakutan setengah mati, aku akan melarikan diri dengan membuka mata–lalu bersembunyi di bawah meja kamar. Waktu itu aku berpikir: Jika aku memberitahu seseorang tentang ini, apakah mereka akan mengerti?

Aku akui bahwa orang-orang yang pandai menghakimi justru mengajariku bahwa sikap yang seperti itu ternyata menyakiti–atau mungkin itulah cara mereka untuk menyerang satu sama lain? Sehingga aku sadar bahwa aku tidak seharusnya menjadi seperti mereka. Langkah-langkah kecil tak kasat mata membawaku pada pemikiran baru: Bagaimana caranya agar aku tidak membuat orang lain merasa tidak berharga? Pemikiran sederhana seperti ini terkadang cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi manusia.

Ingin hidup tanpa perjuangan adalah keserakahan. Kabur tentu saja bukanlah jalan keluar. Jika hidup memang hanya sekali, aku ingin hidup penuh mimpi. Akan ku hiasi realita ini dengan mimpi-mimpi. Akan kutemui orang-orang bijak seperti yang digambarkan dalam tokoh fiksi. Karena setiap bertemu orang bijak, aku selalu bertanya-tanya: Seberat apa hidupnya sampai membuat pikirannya seterbuka itu? Akan aku ceritakan segalanya jika orang seperti itu berkenan mendengarkanku.

Saat menceritakan sesuatu kepada seseorang dan merasa orang itu tidak menerima ceritaku dengan baik, maka itu sudah cukup membuatku untuk tidak mau lagi menceritakan sesuatu padanya. Sama seperti Zidni. Saat ceritanya tentang mimpi dianggap hanya mimpi, diapun berhenti memberitahu siapapun. Akupun menjadi paham bahwa respons ternyata memang sangat penting. Sesuatu yang dianggap sederhana dan biasa saja terkadang bisa sangat berarti bagi orang lain.


▬▬▬


Pesawat kertas yang ditumpangi Zidni dan Navin melesat sangat cepat menuju ke langit dan menembus awan mendung. Langit malam yang awalnya suram, kini ramai penuh bintang. Setelah melewati awan, kecepatan pesawat kertas yang mereka tumpangi mulai berkurang. Zidni pun mulai menikmati pemandangan di sekitarnya dan Navin mengubah posisi dengan berbaring santai. Kedua tangan ia lipat di belakang kepala untuk dijadikan bantal dan kakinya menyilang.

Mereka jalan-jalan ke luar angkasa, tapi dunia mimpi yang Navin tunjukkan sangat jauh berbeda dengan dunia nyata. Dia menampilkan dunia sederhana yang lebih mudah dimengerti oleh anak-anak. Di sekitar mereka ada bintang-bintang berwarna keemasan berbentuk segilima runcing yang memiliki wajah, tangan dan kaki–bentuk dasar yang persis dengan yang biasa digambar oleh anak-anak. Semua bintang menyebar di langit malam dan semuanya menari. Ada yang sendirian, ada yang berpasangan, bahkan ada yang beramai-ramai seperti pesta. Zidni baru sadar jika ada suara musik yang terdengar seperti lagu pengantar tidur. Para bintang menari mengikuti alunan musik yang lembut.

Zidni mencoba meraih salah satu bintang terdekat yang sebesar telapak tangannya, tapi dia berujung dimarahi oleh si bintang. Bintang itu mengomel dalam bahasa yang tidak bisa ia mengerti. Mau tidak mau, Zidni pun membebaskannya dari genggamannya kemudian mendapati Navin sedang menertawainya.

Di antara para bintang, ada bulan sabit yang tengah tertidur. Zidni diam terpana saat pesawat kertas membawanya dan Navin melewati bulan yang mendengkur. Suara dengkuran semakin jelas seiring mereka semakin dekat dengan bulan. Dengan suara lirih agar tidak membangunkan sang bulan, Zidni bertanya kepada Navin.

“Kalau sekarang siang hari, apakah akan ada pelangi?”

“Bisa saja kalau kamu mau,” kata Navin.

“Kalau aku tidak mau, apakah akan tetap terjadi? Seperti yang tadi itu. Kenapa aku diikat? Kenapa aku merasa sakit padahal ini cuma mimpi? Kenapa itu terjadi padahal aku tidak ingin bermimpi seperti itu?”

Lihat selengkapnya