Surealis Bawah Sadar

Lukita Lova
Chapter #9

Surealis

Ketika seseorang telah merasa bergairah pada sesuatu–pelukis pada melukis, misalnya–dia tidak hanya melukis dengan kuas, tapi ada jiwa yang ia tumpahkan.


▬▬▬


“Kok bisa Vlarin cuma melewatinya? Nembus pintu apa bagaimana? Aku bingung!” protes Zidni atas ketidakjelasan dari akhir cerita Navin.

Navin justru menggodanya, “Anak kecil tidak boleh marah.”

Zidni semakin kesal, “Kenapa semua orang manggil aku anak kecil? Sampai kapan aku dipanggil begitu? Aku ini sudah delapan tahun!”

Navin mencoba menahan tawa, tapi tidak berhasil sehingga tawanya menyembur lalu tertawa lepas sangat puas. “Maaf. Aku tidak bermaksud–” Dia kembali tertawa sebelum menyelesaikan kalimatnya.

“Berisik! Nanti ibu bangun!”

Navin membalas, “Kamu yang berisik! Ibumu tidak bisa mendengar suaraku. Kalau kamu berisik nanti tidak hanya ibumu yang bangun, tapi pasien sebelah juga.”

“Aku sendirian di ruang ini kok. Yang di sebelah sudah pulang tadi siang.”

“Oh ya? Sepertinya aku yang kurang observasi.”

“Apa itu?”

“Mengamati.”

“Mengamati apa?”

“Dunia.”

Zidni tidak tahu kemana percakapan mereka akan mengarah. Navin dan dunianya terkadang memang sangat sulit dimengerti. Namun, tidak dipungkiri bahwa dunia Navin memiliki keindahan unik yang sangat sayang untuk ditinggalkan dan sulit dilupakan.

Zidni bertanya, “Kak Navin tahu kapan aku pulang?”

“Kalau belum sembuh mana boleh pulang,” kata Navin.

“Begitu, ya? Padahal aku kangen rumah.”

“Mau aku bantu biar bisa tidur? Biar perasaan kangen kamu bisa terkubur sebentar.”

“Tapi aku takut mimpi buruk lagi,” ungkap Zidni.

Navin meyakinkan, “Aku akan datang ke mimpimu seperti semalam. Akan aku temani kamu seperti semalam. Aku janji.”

“Aku takut Kak Navin tidak akan datang. Hari ini Kak Navin juga baru datang. Tadi siang kemana saja? Aku tadi nungguin di depan lift. Kalau aku tidur dan Kak Navin tidak datang ke mimpi, aku takut bakal kesakitan lagi.”

“Hei, aku pasti akan datang. Janji! Tadi aku hanya sibuk karena merasa harus bersih-bersih. Sebenarnya belum selesai sampai sekarang karena aku merasa harus menemuimu.”

“Bersih-bersih apa?”

“Kamu tidak akan percaya kalau aku beritahu. Yang terpenting sekarang kalau nanti kamu sudah tidur, aku akan datang ke mimpimu dan aku akan menemukanmu lagi seperti semalam. Aku janji! Sekarang aku akan tetap di sini sampai kamu tidur. Ya?”

Zidni memilih untuk mempercayai Navin. Mereka pun sepakat untuk tidak saling bicara lagi agar Zidni bisa tidur dan Navin berjanji untuk tidak pergi sampai Zidni benar-benar terlelap. Setelah Zidni akhirnya tertidur, Navin turun dari tempat tidur. Sebelum pergi dari bangsal itu, dia menyelimuti sang ibu yang tampaknya tidak sempat mengenakan selimut karena ketiduran.

Navin berjalan keluar dari bangsal seraya bersiul santai. Dia melewati ruang perawat dengan merasa tanpa ancaman karena dua perawat yang duduk di balik meja itu tidak mampu menyadari keberadaannya. Langkah Navin berhenti di lorong rumah sakit. Dia menghadap dinding kemudian mengeluarkan kapur tulis dari dalam saku celana. Dengan kapur tulis berwarna biru, dia menggambar jendela di dinding rumah sakit yang berwarna krim. Dia menggambar seraya menyanyikan lagu anak.

Satu satu … aku sayang ibu. Dua dua … juga sayang ayah. Tiga tiga … sayang adik kakak. Satu dua tiga … Apa kelanjutannya, ya? Aku lupa.” Dia menjeda aktivitasnya sebentar untuk mengingat-ingat. Kemudian dia melanjutkan menggambar seraya meneruskan lagu dengan lirik dan nada sembrono, “Satu dua tiga … aku sayang diri sendiri.”

Setelah gambar jendela yang sederhana akhirnya selesai, dengan ajaib jendela itu bisa dibuka oleh Navin. Masuklah Navin ke alam lain melalui jendela yang ia gambar. Sayangnya, gambarnya ternyata sedikit kekecilan sehingga dia harus bersusah payah menerobos jendela.

Navin menggerutu di tengah usahanya menerobos jendela, “Seharusnya aku menggambar pintu saja! Pintu gerbang!”

Setelah berhasil memaksa masuk seluruh tubuhnya, Navin jatuh di sebuah tempat yang berupa tepian danau. Bergeser sedikit saja, dia bisa tercebur ke sana. Navin bangkit berdiri dan mengamati sekitar. Lagi-lagi dia berada di semacam hutan. Bedanya, kali ini ada danau–dan lagi-lagi tidak terlihat jelas karena dunia itu selalu gelap. Navin melihat ke arah danau setelah mendengar suara gemericik air. Karena penasaran, dia selangkah lebih dekat dengan tepi danau untuk mengamati. Secara mengejutkan ada hantu-hantu air yang melompat ke permukaan dan nyaris mencakarnya. Wujud mereka seperti manusia hijau bersirip dan bersisik di sekujur tubuh. Untung saja Navin buru-buru mundur. Beberapa makhluk asing yang telah kembali ke dalam danau itu masih memunculkan sebagian kepala mereka di permukaan danau dan beramai-ramai memelototinya. Dia kembali mundur beberapa langkah karena dia sadar bahwa dunia itu bukanlah ranahnya.

Navin bergumam, “Dunia ini sangat tidak ramah.” Kemudian dia berseru kepada para penghuni danau, “Seharusnya kalian jangan menyerang, tapi bilang ‘hai’!”

Navin merogoh saku celananya lagi. Kali ini dia mengeluarkan spidol. Perlu diingat bahwa setiap barang yang dia miliki tidak ada yang biasa. Mulai dari kapur yang menggambar jendela yang kemudian bisa dimasuki, sampai spidol yang Navin gunakan untuk menggambar roda di dasar sepatunya–dan apapun yang dia gambar bisa menjelma nyata. Sepasang sepatu sekolahnya yang biasa, kini telah memiliki roda. Seperti papan piano kemarin yang mengantarkan Navin ke lokasi Zidni, sepatu rodanya pun diberi perintah yang sama: menemukan Zidni. Akan tetapi, sepatu rodanya meluncur tanpa kendali. Navin terseret-seret saat dibawa melesat oleh sepatu rodanya sendiri. Dia terus berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya meskipun nyaris jatuh.

Navin berteriak kepada sepatunya sendiri, “PELAN-PELAN, HEI … !”

Permukaan tanah yang tidak rata membuat Navin merasa cukup tersiksa. Dia tidak punya waktu untuk menghentikan sepatunya karena terus sibuk menjaga keseimbangannya yang setiap saat goyah. Jalan menanjak dan menurun membuat tubuhnya condong kemana-mana bahkan berputar-putar. Dia berteriak saat sepatunya membawanya menuruni jurang yang curam lalu membawanya naik lagi dengan kemiringan yang sama. Dia memekik berkali-kali saat melewati turunan semacam tangga.

“Aw! Aw! Aw! Aw! Aw!”

Sepatu roda yang dia ciptakan pasti akan membuat manusia manapun mabuk darat. Navin sangat lega saat akhirnya melewati jalanan datar. Akan tetapi, di depan sana ternyata ada danau. Semakin dekat dengan danau, tidak ada tanda-tanda sepatu rodanya akan berbelok. Navin pun panik karena setahunya danau di dunia itu dihuni makhluk-makhluk yang sangat tidak ramah. Dia khawatir akan terjadi malapetaka jika dia tetap nekat memasuki danau.

Lihat selengkapnya