Pada sebuah petualangan bernama kehidupan, pilihlah tempat singgah saat lelah. Bawah pohon, tepi sungai, pantai, menulis, atau ciptakan tempat singgah sendiri. Di ujung jalan kehidupan yang jauh di depan sana, sesuatu yang menakjubkan sedang menunggu dengan tangan terbuka. Mari memeluknya suatu hari nanti.
▬▬▬
Ada banyak tempat singgah di muka bumi yang bisa dipilih. Kadangkala, aku memilih bawah meja kamar. Katanya, sebuah tulisan bisa menggambarkan jiwa penulisnya. Jika melalui tulisanku ini aku terkesan tidak baik-baik saja, artinya sekarang aku baik-baik saja karena telah berhasil mengerahkan kekuatan untuk menyampaikannya.
Saat Zidni didera sakit di usia delapan tahun, Navin menjadikan mimpi sebagai tempat singgah Zidni. Di sana Zidni bisa merasakan kebebasan yang sulit didapat di realita. Di saat realita memberinya sebuah keterbatasan, Navin justru menghujani Zidni dengan mimpi-mimpi yang tak mampu realita suguhkan. Bukankah menyenangkan menjadi Navin? Dia bisa menciptakan apapun dengan imajinasinya.
▬▬▬
14 NOVEMBER 2016
Zidni yang tiba-tiba menghilang membuat Navin segera kembali ke dunia nyata dan mencari Zidni. Hari ternyata sudah pagi dan Zidni telah bangun dari tidurnya. Saat mendatangi ruangan Zidni, Navin mendengar sang ibu berucap syukur berkali-kali karena sekeping kebebasan telah kembali didapatkan meskipun belum sepenuhnya. Pagi ini, kedua tangan Zidni bisa bergerak. Navin turut senang, tapi dia memilih pergi karena tidak ingin mengganggu kebersamaan keluarga itu.
Pada jam besuk pertama, Lima datang. Waktu itu jam besuk hampir berakhir dan sudah tidak ada tamu. Lima pun diminta untuk menjaga Zidni sebentar karena sang ibu ingin pergi beribadah. Karena sang ibu belum kembali bahkan setelah jam besuk berakhir, Zidni dan kakaknya menikmati keheningan bersama. Zidni bermain game di ponsel, sedangkan Lima membaca buku. Saat Lima akhirnya menutup bukunya dan beranjak mengambil jeruk di meja nakas, dia baru menyadari sesuatu. Lima bertanya seraya menatap Zidni yang bermain ponsel.
“Zid, kok kamu sudah bisa duduk? Tangan kamu kok sudah bisa gerak?”
Zidni menjawab tanpa menoleh karena ingin terus fokus pada permainannya. “Iya. Tadi pagi ibu sampai nangis.”
“Kok Kak Lima baru sadar?” tanya Lima.
“Lemot sih.”
“Malah ngatain!”
Game over memenuhi layar ponsel. Zidni mendesis kesal karena kalah dalam permainan. Dia menjatuhkan ponsel ke pangkuan lalu memandang kakaknya dengan tatapan sinis.
“Nyebelin! Gara-gara Kak Lima aku jadi kalah!” tuding Zidni.
Lima membalas, “Dih! Diajarin siapa sih nyalah-nyalahin orang?”
“Diajarin siapa lagi kalau bukan Kak Lima! Gendong aku ke kamar mandi buruan!”
“Ngapain ke kamar mandi? Kan biasanya tinggal pakai pispot?”
“Aku mau poop. Kata dokter aku sudah boleh ke kamar mandi kalau mau buang air.”
Dengan terpaksa Lima mengembalikan jeruk yang belum sempat ia kupas ke atas lemari nakas demi menuruti adiknya. Zidni pun digendong kakaknya menuju kamar mandi. Setelah menyelesaikan urusannya, dia kembali digendong Lima menuju tempat tidurnya. Sejak keluar dari kamar mandi, dia melihat Navin telah berbaring di tempat tidurnya. Zidni menyapa dengan senyuman. Navin segera menyingkir dari tempat tidur untuk memberi Zidni ruang.
Navin menunjuk kamar mandi seraya mengoceh, “Dunia itu sementara. Dunia adalah transit. Tangga Darurat adalah transit. Kamar mandi adalah transit. Hidup itu sesingkat kamu pergi ke kamar mandi. Sesingkat kamu melewati tangga darurat.” Dia mengakhirinya dengan menatap Zidni yang telah berbaring di tempat tidur.
Zidni bertanya, “Transit itu apa?”
Navin ingin menjawab, tapi kakak Zidni mendahului.
Lima menjawab seraya mengupas jeruk, “Transit itu tempat singgah sementara. Misalnya, kamu pergi ke Pulau Bali terus mampir ke pemandian umum sama ke restoran sebelum melanjutkan perjalanan. Nah, pemandian umum sama restoran itu jadi tempat transit. Atau kamu mau pergi ke luar negeri, tapi pesawat kamu berhenti di negara lain dulu. Nah, negara yang dikunjungi sementara itu transitnya. Kenapa sih? Random banget. Kok tiba-tiba tanya itu?”
Zidni memandang Navin tanpa kata.
Navin berkata, “Kakakmu benar. Ngomong-ngomong, kakakmu menarik juga.”
“Kamu suka?” tanya Zidni.
Lima tiba-tiba menggeleng, “Nggak! Kecut. Kalau manis baru suka,” Lima menaruh sisa jeruknya ke atas nakas kemudian memohon kepada Zidni. “Kalau ditanya ibu, bilang kamu yang makan, ya? Biar aku nggak dimarahin.”
“Ih Kak Lima curang!” ketus Zidni.
“Bantuin sekali aja, Zid. Daripada nanti kamu nggak kakak gendong lagi. Emang kamu bisa ngesot?”
“Kan ada ibu.”
“Ya tapi kan yang ngajak jalan-jalan aku!”
“Iya deh iya! Berisik!”