Katanya, selalu ada semesta yang mengisi setiap kepala manusia. Luasnya tergantung seberapa banyak orang itu berpikir dan cara merawat semesta itu pun tergantung pengendalian diri. Jika terlalu luas, apakah memungkinkan pemiliknya akan tersesat?
▬▬▬
Bagaimana cara yang seharusnya dalam mendobrak setiap batasan yang ada? Banyak stereotip di muka bumi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dan bahkan membudaya sampai sekarang. Bahkan dalam skala lingkungan, pendapat minoritas masih seringkali tak didengar. Atas sebab itulah ada yang merasa bahwa ‘tidak apa salah, asal tidak sendirian’ dan ‘untuk apa benar, kalau kamu tidak punya teman’. Dunia ini sungguh penuh penghakiman. Dan di antara orang-orang yang berani menghakimi, pasti ada beberapa yang sebenarnya berbeda pandangan, tapi rela melakukan segala cara demi tergabung dalam mayoritas agar merasa aman. Ternyata masih ada banyak sekali manusia di muka bumi yang belum berhasil menemukan jati diri.
Pada dunia fana dimana setiap yang berpijak padanya selalu memiliki kemampuan dan batasan, Navin yang merupakan entitas dengan segala kemampuannya dalam menyelamatkan seseorang dari mimpi buruk, ternyata juga memiliki batasan. Namun, dia selalu punya cara untuk mendobrak setiap batasan yang ada. Dia memiliki imajinasi dengan kreativitas tak terbatas yang mampu mewarnai dunia mimpi Zidni.
▬▬▬
“Setelah kemarin nyaris diserang penunggu danau, sekarang aku tahu kalau jalur darat ternyata berbahaya. Bukan darat, tapi danau.”
Navin bicara sendirian setelah masuk ke dalam mimpi Zidni malam itu. Setelah jalan piano dan sepatu roda yang sulit diatur, malam ini dia menggunakan karpet mungil yang terbang di udara. Dia duduk bersila dalam diam dan tampak seperti orang yang sedang melakukan meditasi. Dia diam, tapi bola matanya melirik kemana-mana. Dia mengamati sekitar untuk memastikan dia tidak diserang oleh penghuni dunia kegelapan itu yang entah bagaimana wujudnya.
Di depan sana, Navin melihat cahaya. Cahaya berwarna kuning kemerahan yang membara. Ternyata itu bola api. Navin terbang melewatinya begitu saja lalu mendesah lega setelahnya. Saat dia mencoba menoleh ke belakang, bola api ternyata mengikuti.
Navin bergumam sendiri, “Kenapa harus ada banaspati di sini? Berurusan dengan sosok mereka sangat tidak menyenangkan. Mereka seringkali tidak mau dengar karena tidak punya telinga. Mereka tidak bisa diajak negosiasi karena tidak punya mulut. Mereka bodoh karena tidak punya otak.” Dia lekas berteriak karena terkejut saat bola api itu tiba-tiba menyalip untuk menghadangnya. “BECANDAAA … !”
Navin berhadapan dengan api yang membara sebesar kepalanya. Bola api itu membumbung semakin besar di hadapan Navin dan tampak ingin menakuti. Bagi Navin itu sangat membuang waktu dan membuat Navin malas meladeni. Navin bahkan malas berekspresi dan memperhatikan. Akan tetapi, bola api itu terus membara semakin dekat dengan wajahnya. Cahaya apinya terasa sangat mengganggu sehingga Navin pun hilang kesabaran.
Navin berteriak kepada bola api yang menyala di hadapan wajahnya, “PERGI ATAU AKU PADAMKAN!!”
Bola api itu seketika mundur dan apinya perlahan menciut.
“Hush! Hush!” usir Navin lalu mengancam sekali lagi, “Pergi. Atau. Aku. Padamkan.”
Bola api itu tampaknya bebal. Tampaknya dia menganggap remeh Navin. Apinya kembali membara seraya kembali mendekat ingin membakar Navin. Navin menangkapnya seperti menepuk nyamuk.
PLAK!
Bola api pun sirna. Apinya dipadamkan oleh tepukan tangan Navin yang saat ini masih berasap. Setelah membersihkan telapak tangan, Navin akhirnya kembali mendapat kedamaian untuk menikmati perjalanannya lagi. Di mimpi kali ini Navin diantar menuju gunung batu–semacam bukit yang terbuat dari batu raksasa dengan gua di salah satu sisinya.
“Gua lagi?” tanya Navin setelah mendarat di depan mulut gua seraya melipat karpet terbangnya menjadi sangat kecil lalu menyimpannya di saku celana.
Navin tidak merasakan tanda-tanda adanya ancaman saat memasuki gua. Dia berjalan menelusurinya dengan berjalan santai dan kedua tangan masuk ke saku celana seperti biasa. Namun, matanya tidak bisa diam. Dia mengamati sekekeling bahkan sesekali berbalik badan menghadap ke belakang dan berjalan mundur. Pikirnya, kenapa tenang sekali? Karena terus berjalan mundur, dia jadi tidak menyadari bahwa di belakangnya ada tangga menurun. Karena tak kunjung menghadap kedepan, kakinya tergelincir lalu dia jatuh berguling menuruni tangga.
“Aw! Aw! Aw! Aw!”
Kecerobohannya itu langsung mengantarkannya kepada Zidni. Navin mendarat dalam posisi yang tidak enak di pandang. Dalam posisinya yang menungging, dia menyapa Zidni yang duduk sendirian.
“Hai!”
Navin buru-buru bangkit setelah menyadari keadaan Zidni. Dia berlari mendekati Zidni yang duduk menelentangkan kaki. Namun, kaki Zidni di mimpi malam itu terlihat tidak biasa. Dari telapak kaki Zidni sampai ke betis, kaki Zidni tampak diselimuti bebatuan kecil yang sangat rapat menyelimuti.
“Apa yang terjadi?” tanya Navin.
Zidni menjawab, “Kakiku langsung begini sejak aku bermimpi.”
“Kalau begitu kamu tidak tahu penyebabnya? Pubu tidak di sini?”