Surealis Bawah Sadar

Lukita Lova
Chapter #13

HARI KELIMA : Dinding Realita

Setiap dunia memiliki ruang. Setiap ruang memiliki batas. Setiap batas, apakah selalu punya celah?

 

▬▬▬


Ada dinding antar alam yang ada di dalam pikiran manusia. Pernahkah terpikirkan untuk menjelajah alam bawah sadar milik diri sendiri? Kira-kira apa yang akan ditemukan? Apakah akan menemukan kenangan masa lalu? Atau bertemu trauma saat menjelajah lebih dalam lagi yang mana sesuatu tersebut mampu mengguncang kesadaran dan membuat ego bergerak liar tanpa kendali?

Dunia ini bisa menjadi medan perang tanpa senjata. Karena pada dasarnya senjata utama manusia telah tertanam di dalam diri mereka masing-masing. Salah satunya, tudingan gelap melalui lisan yang membuat seseorang menahan napas dan butuh waktu lama untuk akhirnya mampu bernapas lagi. Sepertinya matahari tidak cukup menjadi penerang kehidupan. Tampaknya setiap orang butuh menemukan seseorang seperti Navin yang mampu menerangi dan mewarnai kesakitan dengan mimpi-mimpi.


▬▬▬


15 NOVEMBER 2016

Sakit Zidni yang sempat menyiksa selama tidur tidak lagi terasa setelah bangun. Zidni merasa beruntung karena rasa sakit yang selalu berusaha merenggutnya di alam bawah sadar ternyata tidak sanggup mencapainya di realita. Keterjagaan ternyata merupakan kekuatan besar sehingga entitas semacam wanita bergaun merah tidak dapat menyeretnya ke dunia kegelapan.

Lima mampir di jam besuk pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke universitas. Katanya, dia sengaja menyisihkan waktu untuk menemui adiknya tercinta–percayalah Zidni pura-pura muntah saat mendengar kata ‘tercinta’ di belakang namanya. Lima tidak mampir lama. Kira-kira setengah jam. Sebelum pamit pergi, dia heran memperhatikan Zidni yang duduk di ranjang pasien dan asik sendiri dengan cara yang aneh. Zidni tengah menggerakkan kedua bahunya entah atas alasan apa. Zidni memutar bahu dari belakang ke depan, tapi sorot matanya tidak fokus kemanapun. Zidni tampak tenggelam dalam lamunan seraya terus menggerakkan bahunya.

“Zid!” tegas Lima membuyarkan lamunan Zidni sehingga adiknya itu menoleh. “Ngapain? Kok pundaknya digerak-gerakin begitu? Mentang-mentang sudah bisa gerak?”

Zidni berkata, “Kak, kalau manusia punya sayap besar, pas terbang pasti bahunya bakal begini begini. Percaya deh.” Zidni kembali memutar bahunya untuk menunjukkannya kepada kakaknya.

Lima justru semakin heran. “Aneh kamu,” ujarnya kemudian berpamitan kepada sang ibu untuk pergi kuliah.

Di pintu bangsal, Lima berpapasan dengan Navin tanpa siapapun menyadari. Hanya Zidni yang tahu bahwa pagi ini Navin datang berkunjung. Setelah berpapasan dengan Lima, Navin menoleh ke belakang memperhatikan perempuan itu seraya terus berjalan.

“Kakakmu mau pergi kemana? Kenapa tidak tinggal di sini?” tanyanya setelah langkahnya berhenti di depan ranjang Zidni.

Agar ibunya tidak mengira Zidni bicara sendiri, Zidni ternyata punya cara cerdas dalam menjawab pertanyaan itu. Dia pura-pura bertanya kepada ibunya.

“Kak Lima berangkat kuliah ya, Bu?”

Ibu pun mengkonfirmasi dengan mengangguk. Sang ibu yang baru selesai menyeka tubuh Zidni beringsut ke kamar mandi untuk membuang air kotor. Saat beliau melewati Navin, Navin menyapanya dengan sopan. Meskipun tidak tampak di mata, Navin menegakkan tubuhnya dan sedikit membungkuk saat memberi salam.

“Selamat pagi, Bu. Semoga sehat selalu.”

Zidni tertawa diam-diam menyaksikan itu. Setelah ibunya masuk ke kamar mandi, dia segera memberi Navin permintaan yang sangat berani–tapi menjaga suaranya agar tidak terlalu lantang agar ibunya tidak dengar.

“Kak Navin, menikahlah dengan kakakku! Lalu kita bisa jadi keluarga.”

Navin cukup terkejut mendengarnya. Dia kemudian tertawa getir yang dibersamai dengan gelengan kepala. “No, no, no. Jangan, jangan, jangan. Maksudku, itu tidak akan pernah mudah. Bahkan jika aku memang tertarik dengan kakakmu, tetap saja dia tidak bisa melihatku. Kita tidak akan pernah bisa bersama. Ada dinding realita yang sangat tinggi yang tidak bisa kita lewati.”

“Apa itu dinding realita?”

“Anggap saja dinding yang tidak terlihat. Dinding takdir. Jika dinding itu sudah berdiri, maka tidak akan ada satupun yang mampu merobohkannya.”

“Karena itukah Vlarin juga tidak bisa bersama Pak Tua?”

“Benar sekali!”

“Kenapa dinding realita tidak bisa dirobohkan?”

“Karena siapapun yang berniat merobohkannya, maka dia sama saja ingin menentang takdir.”

Zidni diam untuk berpikir kemudian menanyakannya, “Kalau Kak Navin dan Kak Lima punya dinding, Vlarin dan Pak Tua punya dinding, apakah aku dan Kak Navin punya dinding juga?”

Itu adalah pertanyaan tak terjawab karena setelah itu Zidni melihat ibunya keluar dari kamar mandi. Navin pun tidak ingin menginterupsi mereka yang mulai berinteraksi. Yang Navin lakukan berikutnya hanyalah berpamitan.

“Aku akan pergi ke lift. Setelah naik turun beberapa kali, aku mungkin akan mengunjungi suatu tempat. Kemana? Rahasia! Sampai jumpa nanti,” Navin melambaikan tangan lalu pergi.

Zidni melihat Navin yang kemudian pergi. Sayang sekali dia tidak bisa mengejarnya. Namun, sejauh apapun Navin pergi, Zidni selalu percaya bahwa lelaki itu pasti akan datang lagi.

Lihat selengkapnya