Syair. Puisi. Ada yang indah dalam sebuah bait kata-kata. Langit. Laut. Sungai kecil. Ada yang indah dari semesta.
▬▬▬
Karya adalah kepingan semesta dari penciptanya. Menganalisa setiap karya dari pencipta yang sama, apakah memungkinkan semesta penciptanya terbaca?
Sedikit demi sedikit, Navin mulai menunjukkan diri siapa dirinya. Namun, Zidni yang masih terlampau muda belum cukup memahami. Yang dia tahu, Navin hanyalah seorang teman masa kecil yang berasal dari alam mimpi.
▬▬▬
16 NOVEMBER 2016
Ada hari dimana Navin tidak berani masuk ke ruangan Zidni. Waktu itu Navin tidak sengaja berpapasan dengan seorang indigo. Orang itu datang bersama beberapa orang, tapi hanya dia satu-satunya yang dapat melihat Navin. Celakanya, mereka bertemu di depan pintu bangsal yang Zidni tempati. Langkah Navin seketika membeku saat orang itu ternyata ingin memasuki ruangan yang sama. Orang itu melewatinya seraya melirik penuh selidik. Navin pun seketika menebak bahwa dirinya mungkin telah disadari sebagai entitas bukan manusia. Tujuan keberadaannya di sana pun segera diketahui oleh orang itu. Saat orang indigo itu tahu bahwa Zidni adalah satu-satunya pasien di bangsal itu, Navin merasa bahwa sebentar lagi dirinya akan dianggap sebagai salah satu ancaman bagi Zidni.
Navin memilih menahan diri untuk tidak ikut masuk. Orang indigo itu terdengar akrab saat berbincang dengan Zidni, tapi sepertinya kurang ramah bagi Navin. Navin tidak ingin mengganggu dan memilih pergi sebentar ke tempat lain. Navin pikir, mulai sekarang akan lebih aman jika menemui Zidni di luar jam besuk.
Pada pukul tiga sore, Zidni terjaga dari tidur siang. Ibunya yang juga tidur siang ternyata belum bangun. Zidni pun merasa kesepian. Suasana benar-benar sangat sepi karena bukan jam besuk apalagi dia satu-satunya pasien di bangsal itu. Sesaat kemudian, suara Navin terdengar mengusir sunyi.
“Kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu.”
Hanya mendengar suaranya saja, Zidni sudah merasa senang. Meskipun Navin belum menunjukkan diri, tapi Zidni sudah merasa punya teman. Zidni terkejut saat tirai tiba-tiba dibuka. Navin masuk ke ruang rawatnya dengan cara yang dramatis seperti bermain teater.
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang.”
Ternyata Navin sedang berpuisi. Dia menyampaikan puisi yang ia ingat di luar kepala. Navin melihat langit-langit dengan mata sendu dan tampak menghayati.
“Luka dan bisa ku bawa berlari. Berlari hingga hilang pedih peri. Dan aku akan lebih baik tidak peduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi,” satu punggung tangan menepuk kening lalu Navin berputar dan berakhir duduk di tepian tempat tidur Zidni.
Zidni tertawa. “Kak Navin ngapain sih?” tanyanya.
Navin menjawab, “Puisi Chairil Anwar. Judulnya Aku.”
“Siapa itu?”
“Kamu tidak tahu Chairil Anwar? Gurumu tidak memberitahumu? Kakakmu tidak memberitahumu?”
Zidni menggeleng.
“Dia seorang penyair.”
“Apa itu penyair?”
“Pengarang puisi. Puisi lama. Kamu tahu? Aku pasti sudah jadi seniman kalau aku manusia. Aku akan melukis langit dan menuliskan puisi di sana. Aku suka segalanya yang indah di alam semesta. Langit, gunung, padang rumput, laut, padang pasir, sungai besar, sungai kecil, burung, daun, zebra, air, napas, jalan setapak, sawah, gunung, rumput, daun gugur, musim, bunga-bunga, kupu-kupu, kura-kura, laba-laba, paus, sarang lebah, sarang laba-laba–ada banyak sekali yang muncul di pikiranku. Sampai kapan kira-kira kalau aku sebutkan semuanya?”
“Kak Navin bisa melukis semuanya di mimpi, kan? Malah ada yang bisa jadi hidup. Kak Navin bukan manusia, tapi bisa melukis. Berarti tidak harus jadi manusia agar bisa jadi pelukis.”
“Benar juga. Kamu pintar sekali.”
“Bisakah Kak Navin melakukannya di dunia nyata? Melukis yang bisa jadi hidup?”
“Mungkin bisa. Aku tidak pernah mencoba kecuali mendesak.”