Pada sebuah garis bernama kehidupan, garis horisontal maupun vertikal memiliki dua ujung yang di beri nama. Kadang bernama Awal dan Akhir. Kadang bernama Pertemuan dan Perpisahan. Kadang bernama Kelahiran dan Kematian.
▬▬▬
Di pergantian hari antara 16 November dan 17 November 2016, Navin kembali membawa Zidni ke dunianya. Dunia dimana lukisan kemarin masih tersimpan di sana. Mereka meneruskan lukisan yang belum selesai. Malam itu Navin membuat keajaiban. Warna-warna lukisannya bercahaya. Dan setiap gambar makhluk hidup yang mereka gambar akan keluar dari lukisan dan menjadi makhluk yang nyata. Lucunya, ukurannya akan mengikuti ukuran yang mereka gambar. Zidni tertawa saat ada seekor kuda nil mungil yang keluar dari lukisan dan berlarian mengitari kursi rodanya. Atau seekor dinosaurus berjenis tyrannosaurus rex sebesar anak ayam yang mencoba mengginggit kaki Zidni, tapi tidak bisa karena kaki Zidni berselimut batu. Pada akhirnya, Puding yang dikejar sampai berlarian di sepanjang koridor.
Dua kali Navin mengambil alih mimpi Zidni. Berkali-kali dia menciptakan ruang aman untuk Zidni. Tanpa pamrih Navin melindungi Zidni dari makhluk jahat tak kasatmata yang ingin merenggut kehidupan. Kira-kira kenapa Navin bersedia melakukan semua itu?
▬▬▬
17 NOVEMBER 2016
Masih jam lima pagi, tapi Zidni sudah terbangun. Dia melihat kakaknya masih tertidur pulas di kasur lantai sedangkan ibunya–yang semalam tidur di salah satu ranjang pasien–sudah tidak ada di ruangan. Di tempat tidur pasien paling ujung ternyata ada Navin yang sedang berbaring. Dia berbaring miring menghadap Zidni lalu melambaikan tangan.
“Aku langsung menyusulmu ke sini setelah kamu keluar lebih dulu dari mimpi,” katanya. “Soal ibumu, dia baru keluar bawa mukena. Aku tebak dia akan segera mendoakan kesembuhanmu. Aku berani bertaruh kalau beliau melakukannya setiap hari, setiap saat, setiap waktu.”
“Puding masih di sana?” tanya Zidni.
“Masih. Tenang saja! Panwi sudah aku kurung agar Puding bisa melukis dengan damai.”
“Panwi?”
“Nama T-rex yang kamu gambar. Yang menggigit kakimu terus mengejar Puding.”
“Kak Navin suka sekali menamai apa saja, ya? Kapan Kak Navin ngasih nama Panwi?”
“Sepuluh detik yang lalu.”
Zidni tidak habis pikir dengan Navin yang selalu punya jawaban unik.
“Aku juga berniat menamai kuda nil yang kamu gambar,” kata Navin. “Menurutmu nama mana yang bagus? Wiuwiu? Nulnul?” Dia melihat Zidni yang menguap lalu berkata, “Tidurlah lagi. Pubu tidak akan bisa menculikmu karena ini sudah fajar. Di luar, langit sudah menguning–yang artinya matahari sudah mengintip dan siap memunculkan diri sebentar lagi. Pubu benci matahari. Sekarang dia pasti sedang sembunyi di suatu tempat yang tertutup dan gelap agar tidak ketahuan sinar matahari. Itulah kenapa dunianya selalu gelap.”
Zidni melihat Navin yang mengubah posisi menjadi duduk menghadap jendela yang masih tertutup tirai. Dia meregangkan tubuh lalu memijit bahunya beberapa kali.
“Suasana pagi begini akan sangat menyenangkan jika berpuisi, kan?” Pikir Navin kemudian seketika berpuisi dengan dramatis seperti kemarin. “Atas ranjang batu, tubuhnya panjang, bukit barisan tanpa bulan. Kabur dan lihat dengan mata sepikan terali. Di lorong-lorong jantung matanya, para pemuda bertangan merah, serdadu-serdadu Belanda rebah. Di mulutnya menetes lewat mimpi, darah di cawan tembikar dijelmakan satu senyum, barat di perut gunung.” Suaranya terdengar lemah dan sedih. “Para pemuda bertangan merah, adik lelaki meneruskan dendam.” Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan puisinya. “Dini hari bernyanyi di luar dirinya. Anak lonceng menggeliat enam kali di perut ibunya. Mendadak di pejamkan matanya.”
Puisinya tiba-tiba terdengar seperti cerita. Tanpa sadar Zidni menyimak dan tidak sabar mendengar kelanjutannya.
“Sipir memutar kunci selnya dan berkata: Hei, pemberontak! Hari yang berikut bukan milikmu!” Navin berseru seolah-olah ia benar-benar menggertak seseorang. “Diseret di muka peleton algojo. Ia meludah tapi tak dikatakannya. Semalam ku cicip sudah betapa lezatnya madu darah. Dan tak pernah didengarnya, enam pucuk senapan meletus bersama.” Navin diam sebentar lalu bergumam mengulang beberapa kali, “Enam pucuk senapan meletus bersama. Meletus bersama. Meletus … bersama.”
Setelah menyelesaikan puisi itu, Navin tiba-tiba diam tak bergerak dalam duduknya yang menghadap tirai jendela. Pertanyaan Zidni membuyarkan kesibukannya dalam benak.
“Kak Navin, itu puisi apa?”
Navin menoleh dan balas bertanya, “Kamu tidak jadi tidur?”
“Tidak jadi. Aku penasaran dengan puisimu.”
“Bukan puisiku. Aku hanya menyampaikan puisi milik orang lain. Judulnya Tahanan. Puisi karya WS Rendra. Dia meninggal tahun lalu.”
“Dia meninggal tahun dua ribu lima belas?”