Ada ruang panjang tak berujung yang menjembatani antar dunia. Ruang yang memiliki pintu entah dimana. Sejauh ini tidak diketahui siapa yang bisa membukanya, kecuali seseorang yang mampu membuat gerbang penyeberangan antar dunia.
▬▬▬
Hari itu cukup sepi. Hari yang terasa lebih nyaman dari biasanya karena pembesuk yang datang hanya sedikit. Zidni jadi tidak terlalu bosan meskipun hari ini Lima tidak di sana–kakaknya pergi pagi tadi sebelum berangkat kuliah. Pada sore saat bangsal Zidni tersorot cahaya senja lewat jendela, dia melihat Navin masih menetap di tempat yang sama. Navin tidur terlentang di ranjang pasien paling ujung. Karena Navin sejak tadi diam dan memejamkan mata, Zidni beranggapan bahwa Navin sedang tertidur.
Beberapa saat setelah langit gelap, Navin mulai menggeliat lalu meregangkan tangan seraya membuka mata. Dia menoleh ke arah Zidni yang berbaring sendirian di tempat tidurnya. Navin tersenyum padanya lalu menyapa.
“Selamat pagi.”
“Ini sudah malam,” kata Zidni.
“Selamat malam,” ralat Navin segera. Dia mengubah posisi menjadi duduk menghadap Zidni kemudian bertanya, “Dimana ibumu?”
“Di kamar mandi. Tadi ijin mandi. Makanan dan minuman sudah disiapkan di meja biar aku gampang ngambilnya,” Zidni menunjuk meja nakas di samping tempat tidurnya.
Navin kembali bertanya seraya menyisir rambutnya dengan jari, “Kalau kakakmu?”
“Tadi baru datang langsung aku suruh cari jajan. Katanya di sebelah rumah sakit ada minimarket,” jawab Zidni. “Kak Navin bisa tidur juga? Ini pertama kalinya aku melihat Kak Navin tidur.”
Navin menjawab, “Aku bisa tidur kalau terlalu lelah. Padahal cita-citaku adalah menjelajahi dunia manusia seumur hidup. Itulah yang sudah aku lakukan selama ratusan tahun.”
Sepasang mata Zidni membulat. “Ratusan tahun?” tanyanya tak percaya.
Navin tertawa renyah. “Hahaha. Bercanda!”