Surealis Bawah Sadar

Lukita Lova
Chapter #18

HARI KEDELAPAN : Kabut Berkilau Pengantar Tidur

Banyak sesuatu di semesta yang seringkali tak terpikirkan oleh penghuninya. Sesuatu-sesuatu yang sangat sederhana. Sesederhana pergantian hari. Sesederhana detik pertama hari esok.

▬▬▬


Masa anak-anak menyimpan kekuatan besar. Pola asuh, lingkungan tempat tinggal dan pergaulan memiliki peran besar dalam membangun diri seseorang sampai seseorang tersebut tumbuh dewasa. Dua hal yang paling diingat di masa anak-anak dan akan terkenang dengan jelas saat dewasa adalah: kenangan paling membahagiakan dan yang paling menyedihkan. Trauma pun tercipta menjadi bayang-bayang selama perjalanan menuju dewasa.

Sampai sekarang aku masih ingat siapa saja yang paling menyakiti di masa itu. Aku tidak berhenti membenci bahkan setelah menginjak usia dewasa. Namun, setelah menemukan beberapa kesadaran, aku merasa berada di masa transisi. Aku yang awalnya selalu bergantung kepada orang lain, akhirnya mulai berani melakukan segalanya sendiri. Sekitar satu sampai dua tahun aku bersembunyi dari sosial untuk mengejar apa yang aku inginkan. Saat kembali menunjukkan diri, aku merasa dunia telah berubah–atau justru aku yang berubah? Seseorang yang dulu aku anggap bijaksana, ternyata tidak sebijaksana itu. Aku tidak lagi berharap kepada siapapun. Tidak lagi haus pengakuan dan tidak menyangkal mereka yang berpikir salah tentangku. Sudah tidak ada gunanya membuang waktu. Lebih baik gunakan waktu untuk meningkatkan nilai diri dan menjadi seseorang yang dimau. Seperti saat aku menginginkan seorang teman dengan karakter yang aku mau, maka justru diriku sendiri yang akan menjadi seorang teman itu. Inilah kedamaian yang aku dapatkan setelah berani bermimpi. Ternyata memang butuh tersesat agar bisa menemukan diri sendiri.

Bagi Zidni, Navin adalah bagian terpenting yang pernah hadir di masa kecilnya. Navin yang menunjukkan padanya sebuah dunia fantasi yang menakjubkan di dalam mimpi–dan itu sangat cukup untuk mengubur setiap ketakutan yang pernah ada–akan menjadi kenangan tak terlupakan seumur hidup. Menginjak usia dewasa nanti, kira-kira seperti apa sudut pandangnya terhadap Navin yang sempat mewarnai mimpi-mimpi di masa kecilnya?


▬▬▬


“Zid, semalam kamu ngamuk-ngamuk nggak kerasa, ya? Kaya orang ngigau, tapi kenceng banget. Sampai teriak ‘panas! panas!’. Semalam kamu ngimpi lagi di neraka, ya?” tanya Lima yang secara instan mendapat teguran keras dari ibunya.

Zidni tidak peduli dengan pertanyaan kakaknya. Dia tidak peduli kakaknya dimarahi ibu. Tatapan Zidni mengarah pada ranjang pasien paling dekat dengan jendela yang masih kosong–sedangkan ranjang pasien bagian tengah telah diisi pasien yang baru datang siang ini. Pasien lain datang dan pergi, tapi Zidni masih menetap selama seminggu lebih. Dia sempat meragukan bahwa penyakitnya bisa sembuh. Jika penyakitnya berasal dari alam mimpi, bukankah dia butuh dokter yang bisa masuk ke alam mimpi? Yang Zidni tahu, sejauh ini hanya Navin yang mampu melakukannya, tapi orang itu bukan dokter. Semalam pun dia tampak putus asa. Di alam mimpi yang seharusnya bersenang-senang, Zidni hanya menangis dan meritih sepanjang mimpi sampai dia bangun pagi.

Kemana perginya Navin? Itulah pertanyaan yang terlintas berkali-kali di benak Zidni sepajang hari ini. Sejak ia bangun pagi, Navin tidak datang. Namun, Zidni selalu percaya bahwa orang itu pasti akan datang. Zidni terus menunggu sampai senja tiba, sampai ayahnya datang dan kakaknya pulang. Malam ini giliran sang ayah yang menginap menemaninya bersama ibu.

Malam ini Zidni takut terlelap karena tidak ingin merasakan sakit. Dia berencana tidak akan tidur meskipun orang tuanya menyuruhnya tidur. Pada pukul sembilan malam, Zidni melihat asap aneh yang memasuki bangsal dan menembus tirai ruang rawatnya. Anehnya, saat Zidni bertanya kepada kedua orang tuanya tentang asap yang dia lihat, orang tuanya justru berkata bahwa tidak ada asap apapun. Mungkinkah Zidni satu-satunya yang melihat asap itu? Awalnya Zidni mengira bahwa itu asap kebakaran–tapi mana ada asap kebakaran yang berkilauan? Bahkan saat Zidni menghirupnya, asapnya tak berbau. Asap itu sama sekali tak mengganggu. Namun, orang lain yang menghirup asap itu seketika mengantuk dan tertidur. Zidni terheran melihat orang tuanya yang tiba-tiba terlelap kemudian dia terkejut saat tirai ruangannya tiba-tiba dibuka. Di balik tirai itu Zidni melihat Navin datang dengan kursi roda–Navin duduk di kursi roda dan menjalankan kursi rodanya dengan memutar rodanya secara manual dengan tangan.

Navin mengangkat satu tangan dan menyapa, “Hai! Maaf aku baru datang. Banyak yang harus aku urus karena harus membius semua orang yang ada di rumah sakit–termasuk orang tuamu. Maaf, ya? Sebentar saja kok.”

“Kak Navin yang membuat asap-asap ini?” tanya Zidni.

Navin mengangguk seraya beranjak berdiri. “Ayo pergi sekarang!” ajaknya.

“Kemana?”

“Ke atap. Mari tidak usah pergi ke mimpi agar kamu tidak merasa sakit lagi!”

Zidni terdiam. Memang itulah yang dia inginkan. Zidni dengan senang hati mengangguk. Setelah itu, Zidni dibantu Navin naik ke kursi roda.

“Aku minta maaf karena semalam ketiduran,” kata Zidni setelah duduk di kursi roda.

Lihat selengkapnya