Mimpi adalah sebuah ruang yang pudar setelah dikunjungi. Jika mimpi yang pudar dikunjungi sekali lagi, seseorang akan terombang-ambing pada ruang hampa berwarna dasar mimpi.
▬▬▬
“Jangan ceritakan mimpimu kepada siapapun, atau kamu akan …”
Percayalah. Aku tidak pernah memberitahu siapapun tentang mimpiku. Aku hanya menulisnya, tapi dengan sedikit modifikasi–karena seringkali aku tidak mengingat sepenuhnya. Padahal jika aku bisa mengingat sepenuhnya, mimpiku bisa menjadi cerita.
Mimpi paling aman yang adikku alami selama dirawat di rumah sakit adalah mimpi menggambar di dinding rumah sakit di dalam mimpi. Di sana dia bersenang-senang bersama sahabatnya: Navin dan Puding. Mimpi tersebut telah menjadi ruang paling menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidupnya dan menjadi kenangan paling tak terlupakan selama hidupnya.
Bisakah Zidni datang lagi untuk berkunjung? Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab olehnya yang memiliki kuasa membuka gerbang mimpi, Navin.
▬▬▬
27 JANUARI 2017
Hari pertemuan dengan Navin telah Zidni lingkari di kalender. Masalahnya, hari itu bertepatan dengan jadwal rawat jalannya ke rumah sakit. Zidni harap Navin akan datang menemuinya sebelum ia berangkat atau setelah ia kembali pulang. Dia menyesal dua bulan lalu tidak menentukan waktu dan tempat saat membuat janji dengan Navin.
Sampai Zidni diantar ke rumah sakit, Navin tidak datang. Zidni bahkan tidak tahu bagaimana Navin akan datang–lewat mana dan pakai kendaraan apa. Di rumah sakit, Zidni terlibat antrian panjang di Poli Fisioterapi. Karena poli tersebut memiliki lokasi khusus yang jauh dengan poli-poli yang lain, di sana disediakan tempat duduk lebih banyak untuk para pasien dan pengantarnya. Namun, tentu saja Zidni punya singgah sananya sendiri: kursi roda.
Karena prosedur fisioterapi cukup memakan waktu, antrianpun berlangsung lama. Zidni merasa bosan meskipun ditemani orang tuanya. Suasana hatinya menjadi buruk dan mudah merajuk setiap diajak bicara. Sejam kemudian, namanya dipanggil dan kursi rodanya didorong masuk oleh sang ibu. Hari itu Zidni mendapat prosedur sinar inframerah untuk kakinya. Zidni berbaring diranjang lalu ada semacam lampu yang diarahkan untuk menyinari kakinya. Kurang lebih lima belas menit dia ditinggal di ruangan sendirian karena petugas perlu mendata sesuatu. Di sanalah Zidni mendengar sebuah sapa.
“Zid, apa kabar?” Navin muncul dari kolong tempat tidurnya.
Sepasang mata Zidni membulat karena tidak menyangka akan bertemu Navin di Ruang Fisioterapi. Sayangnya, Zidni tidak boleh bergerak dan harus tetap berbaring selama prosedur. Saat Zidni nyaris bicara, Navin memberinya isyarat agar tetap diam.
“Ssstt … Nanti aku ikut pulang ke rumahmu, ya? Jangan bilang-bilang agar aku tidak diusir! Nanti kita bicara di sana.”
Zidni mengangguk. Setelah itu Navin menghilang entah lewat mana. Siapapun memang tidak pernah tahu dimana orang aneh itu membuat gerbang. Karena gerbang yang dia buat pun tak kasatmata sepertinya.
Setelah urusan di rumah sakit selesai, Zidni pulang dengan mobil ayahnya. Dalam perjalanan, dia sangat penasaran bagaimana Navin akan menyusulnya. Dia khawatir Navin tidak akan bisa menemukan alamatnya. Saat Zidni melihat keluar jendela dan melihat setiap bangunan yang ia lewati, dia melihat ada yang aneh pada refleksi di setiap jendela bangunan di tepi jalan. Dia melihat ada seseorang yang duduk di atas mobilnya, tapi tidak terlihat jelas karena mobil tengah berjalan. Untungnya, kecepatan mobil melambat di perempatan sehingga Zidni bisa dengan jelas melihat refleksinya yang berada di dalam mobil dan seseorang yang duduk di atas mobilnya adalah Navin. Zidni tersenyum saat Navin ikut menoleh ke arah refleksi dan melambaikan tangan kepada refleksi Zidni.
Setibanya di rumah, Zidni memberitahu orang tuanya bahwa dia akan beristirahat di kamar. Dia meminta waktu sendiri dan dia diijinkan asal tidak lupa minum obat, makan dan tidak terlalu banyak bermain ponsel. Zidni menyepakati persyaratan itu. Setelah diantar ke kamar dan dibantu berpindah ke tempat tidur, dia pun ditinggal sendirian. Zidni kemudian diam beberapa saat menunggu Navin. Suara yang ditunggu pun akhirnya terdengar dan lagi-lagi berasal dari kolong tempat tidur.
“Zidni, Zidni. Tebak aku dimana!”
Zidni menyahut, “Di bawah tempat tidurku.”
Sesaat hening, lalu Zidni terkejut saat lemari pakaiannya tiba-tiba terbuka. Navin keluar dari sana.
“Salah! Aku di sini,” kata Navin.
Zidni tidak percaya. “Coba masuk lagi dan bicara! Suara Kak Navin nggak akan sejelas itu kalau Kak Navin bicara di dalam lemari.”
Navin menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. “Kok kamu tahu?” tanyanya yang secara langsung mengakui bahwa Zidni benar. Dia mendekati Zidni yang duduk di tempat tidur lalu Navin ikut duduk di tepiannya.
Navin menyapa seraya mengangkat satu tangan, “Yo! Apa kabar?”
Zidni menjawab, “Belum sembuh, tapi lumayan.”
“Apa bedanya dengan saat kamu masih di rumah sakit?” tanya Navin.
“Di rumah sakit tidak membosankan karena aku punya mimpi walaupun sampai sekarang aku masih takut Pubu. Setelah pulang juga tidak membosankan karena aku boleh masuk sekolah. Sekolahku dekat, tapi aku diantar-jemput pakai motor. Tapi hari ini aku ijin tidak masuk karena harus ke rumah sakit.”
“Dua-duanya tidak membosankan? Itu berarti tidak ada bedanya.”
“Jelas ada! Setiap hari aku harus menunggu Kak Navin! Kenapa kita tidak bisa bertemu setiap hari seperti saat di rumah sakit?”
“Tidak bisa karena kita bukan tetangga. Bagaimana kalau nanti malam kita jalan-jalan lagi?”
“Ke mimpi? Aku mau!” seru Zidni dengan begitu antusias sampai tidak bisa mengontrol suaranya. Teguran dari luar kamar pun terdengar.
“Zid, jangan kebanyakan main game!”
Zidni segera menyahut, “Iya, Bu.” Dia memelankan suaranya saat memulai lagi percakapannya dengan Navin, “Nanti malam kita mau kemana? Kak Navin mau mengajakku kemana?”
“Adakah tempat yang ingin kamu kunjungi?” tanya Navin.
“Aku sering kepikiran dengan rumah sakit yang di mimpi. Apa gambarku masih ada di sana? Aku juga kangen Puding.”