Suatu saat, perpisahan tak terelakan. Suatu saat, kita tak lagi ada. Suatu saat, siapkah apabila salam perpisahan tak terkatakan?
▬▬▬
Menulis adalah terapi. Aku ingin menulis selamanya. Aku ingin hidup lama seribu tahun lamanya.
Peran penting masa kecil mengantarkan manusia kepada tujuan hidup saat dewasa. Aku ingin menjadi penulis sedangkan cita-cita Zidni adalah menjadi dokter. Sebelum mencapai yang diinginkan, aku yakin siapapun pasti akan dihadapkan dengan banyak luka. Sekitar satu setengah tahun Zidni berjuang dengan segala obat dan terapinya demi dapat melangkah lagi. Aku bangga dia telah berhasil melewati tantangan hidupnya. Sampai sekarang anak bungsu itu masih menjadi yang paling dikhawatirkan keluarga jika dia pergi sendirian.
“Zid, masa kecilmu tidak mudah. Mari merdeka di masa depan.”
▬▬▬
9 JANUARI 2038
Dokter adalah profesi Zidni. Dia buka klinik di rumah yang dibuka pada pagi dan sore. Namun, dia juga punya studio melukis. Siapa lagi yang mengajarinya melukis kalau bukan Navin? Pelajaran menggambar memang sudah ada sejak TK, tapi Navin adalah seseorang yang menunjukan padanya bahwa melukis ternyata menyenangkan.
Pada tanggal 9 Januari 2038 yang mana hari itu adalah hari ke-7.777 sejak pertemuan pertamanya dengan Navin, Zidni mengambil cuti dari pekerjaannya di rumah sakit maupun di rumahnya–cuti yang telah ia rencanakan sejak jauh-jauhari. Zidni sudah dewasa dan hampir menginjak kepala tiga. Pada hari itu, dia hanya ingin menyendiri di studionya di lantai dua untuk menunggu Navin.
Zidni duduk di sofa panjang di dekat jendela tinggi dengan pintu yang menghubungkan ruang dengan balkon. Di meja kecil samping sofa telah disiapkan dua cangkir teh yang telah dingin karena ia buat di pagi buta. Dia melakukan itu karena tidak tahu kapan teman anehnya akan datang dan harapan terbesarnya adalah Navin akan datang di pagi buta agar bisa menetap seharian menemaninya.
Zidni melihat keluar jendela dan menyaksikan matahari yang sudah tinggi. Setengah hari telah berlalu dan rasanya lama sekali. Dia kemudian memutuskan untuk berbaring dengan nyaman di sofanya. Menunggu ternyata semelelahkan itu. Dia telah menunggu hari itu selama dua puluh tahun. Dia pun ketiduran karena terlalu lelah. Setelah beberapa jam berlalu, sebuah nyanyian datang mengusik kedamaian tidurnya. Zidni perlahan membuka mata dan mendengarkan nyanyian itu.
“Orang-orang mulai berlari saat merasa hidup telah di mulai. Mereka ingin cepat sampai agar bisa berhenti lebih cepat. Sebagian meninggalkan, sebagian tertinggal. Mereka menatap ke depan, haus capaian. Sebagian menangis, tak sanggup lagi dan jatuh. Sebagian menangis, sebagian teriak.”
Zidni tidak bergerak dari posisinya dan hanya mendengarkan. Potongan lagu itu membuatnya berpikir dan membuatnya ingin tahu kelanjutannya. Setahunya, seseorang yang memiliki pemikiran seperti itu hanyalah sahabat masa kecilnya, Navin.
“Beberapa merasa ini tak adil di saat yang lain masih sanggup berlari. Mereka ingin senjata melawan dunia dan merasa kuat dari manusia lain. Mereka terpuruk di tengah ladang yang sepi di antara manusia-manusia payah. Lalu melihat keramaian jauh di belakang. Ternyata masih banyak yang jauh lebih payah.”
Irama lagu berubah menjadi lebih pelan.
“Manusia-manusia itu berjalan masing-masing. Mereka tidak berlari, tapi mereka bernyanyi. Mereka semua menari, mereka bercerita. Mereka menggores awan dengan pena. Mereka saling bergandengan tangan. La lalala la la la....”
Zidni akhirnya bangkit saat nyanyian masih berlangsung. Dia mencari sumber suara lalu menemukan seorang anak muda berseragam SMA yang berdiri di balkon. Anak muda itulah yang bernyanyi.
“La lalala la la la..., ‘Bagaimana bisa mereka hidup dengan cara aneh seperti itu? Hidup ini bukan sebuah lelucon, seharusnya mereka tidak bercanda.’ Seseorang datang lalu mengulurkan tangan, Semua terpaku lalu mendadak membisu. Mengamati manusia-manusia yang mereka pikir tidak pernah mengerti kehidupan.”
Zidni tidak ingat bahwa pintu balkon ternyata terbuka. Di luar sana ternyata langit telah menguning. Sebentar lagi senja. Siapa lagi yang suka membahas soal manusia jika bukan dia? Zidni memutuskan untuk tetap diam sampai lagu berakhir.
“Garis akhir di depan mata. Mereka bersorak dan tidak sabar. Semua berlari. Ada yang kalah cepat. Beberapa terjatuh dan terluka. Sebuah gerbang baru akhirnya terbuka. Semua orang terbius dengan keindahannya. Namun jalan menuju itu sangat mematikan. Tidak ada yang berani untuk melewatinya. Kecuali mereka di barisan terdepan dan mereka yang tidak mengerti kehidupan.”
Zidni tersenyum pilu. Dia sangat merindukan pemilik suara itu. Yang membuatnya sedikit tidak bisa menerima kenyataan adalah bahwa hari ini akan menjadi yang benar-benar terakhir.
“Tidak ada yang mau mendaki gunung. Tidak ada yang ingin kedinginan. Tidak ada yang mau melintasi gurun. Tidak ada yang ingin kehausan. Tidak ada yang mau menyeberangi laut. Tidak ada yang ingin jatuh tenggelam. Tidak ada yang mau melewati hutan. Tidak ada yang ingin hilang tersesat. Tidak ada yang mau berteman dengan badai. Tidak ada yang mau menari di tengah hujan. Tidak ada yang mau la lala la la.”
Zidni menyeka air mata yang menerobos sudut matanya lalu beranjak dari sofa. Dia melangkah menuju balkon dengan senyuman yang menutupi sedih kerinduan. Disaat itu juga, seorang di balkon berbalik badan menghadapnya seraya melambaikan tangan untuk menyapa. Zidni membalas dengan lambaian tangan lalu mulai bicara di ambang pintu.
“Kamu siapa?” canda Zidni.
Zidni memandang Navin seraya berdiri bersandar bingkai pintu. Saat itu Navin juga tengah terharu memandang Zidni. Anak kecil yang dulu selalu ketakutan telah menjelma dewasa. Mereka kemudian tertawa bersama.
Zidni berkata, “Dimana keriputmu? Rasanya aku ingin mengguruimu karena sekarang aku lebih tua.”
Navin membalas, “Mau aku beritahu yang sebenarnya? Sebenarnya aku punya banyak sekali cucu. Aku ini lebih tua dari seluruh manusia di bumi. Kamu mau mengguruiku? Silakan! Ayo kita lihat sampai mana pengetahuanmu.” Navin menantang.
“Gara-gara kamu, aku jadi tahu Salvador Dali.”
“Siapa dia?” tanya Navin.
“Pelukis surealis.”
“Oh … sereal? Kamu pernah bilang begitu saat aku memberitahumu tentang surealis.”
Zidni tertawa. Dia tidak bisa mengelak soal itu. “Itu sudah sangat lama. Sampai aku pikir kamu tidak nyata. Kamu seperti halusinasi masa kecil yang tidak dapat aku temui lagi,” katanya.
“Bagaimana dengan sekarang? Aku sedang berdiri di hadapanmu. Apa aku tampak seperti halusinasi?”
Zidni mengangguk. “Kamu adalah halusinasi yang sebentar lagi akan pergi. Kamu hanya teman masa kecil yang ada di mimpi.”
Navin tersenyum memiringkan kepala, “Mielitis transversa. Itu penyakitmu dulu. Peradangan tulang belakang yang berakibat kelumpuhan. Aku yakin kamu sudah paham soal itu karena sekarang kamu dokter. Kamu itu tidak gila, Zid–kecuali kamu mau aku ajak jadi gila.”
“Aku masih marah saat kamu pergi begitu saja di pertemuan ke-777,” kata Zidni.
“Oh,” Navin mengangguk mengerti. “Setiap orang dewasa memang menyimpan jiwa anak-anaknya. Inner child! Tampaknya aku adalah salah satu teman masa kecil yang menyakitimu.”
Zidni mengangguk.
“Aku minta maaf,” kata Navin, “Tapi nanti aku tetap akan pergi meskipun artinya aku akan menyakitimu sekali lagi.”
Zidni diam.