“Maaf, Ras, aku nggak bisa lagi nganterin kamu. Aku harus jemput anak-anakku di sekolah. Kalau nanti kamu nggak dapat taksi online, WA aku saja.”
“Nggak apa-apa, kok, Ta. Santai saja,” ucap Laras. “Aku yang harusnya minta maaf sudah ngerepotin kamu, minta anterin aku padahal kamu masih banyak kerjaan di rumah. Makasih, ya, Ta,” ucap Laras. Dita mengangguk pelan. Laras tersenyum canggung.
“Ras,” panggil Dita. “Aku penasaran dengan anakmu yang sudah meninggal itu. Lain kali cerita soal itu,” ujar perempuan berkerudung itu. “Itu juga kalau kamu anggap aku sahabatmu,” tambahnya. Mimik mukanya serius.
Laras yang sempat terdiam karena mendengar pertanyaan itu, membuka pintu dan segera keluar dari sana. Setelah menutup pintu mobil, melalui kaca jendela yang terbuka, Laras sekali lagi tersenyum sebelum pergi. Dari balik kemudi, perempuan berwajah oval itu menatap Laras berjalan menuju pintu gedung rumah sakit. Pandangannya menyiratkan kekhawatiran sekaligus penasaran oleh apa yang dirahasiakan sahabatnya itu. Lama termenung, Dita segera memundurkan mobil dari parkiran untuk keluar dari area halaman gedung.
Laars berjalan di lobi sambil memperhatikan keadaan sekitar yang ramai sudah oleh orang-orang. Matanya mencari-cari loket atau meja resepsionis yang mungkin bisa ditanyai keberadaan keluarga anak korban penyiksaan itu.
“Maaf, kalau boleh tahu, ibu siapanya?” tanya perempuan di balik meja resepsionis itu dengan ramah.
“Oh, mmm, keluarganya, Teh.” Agak ragu Laras menjawab. Tentu saja dia harus berbohong. Kalau tidak, mana mungkin dia mendapatkan jawaban yang dia mau.
“Oh. Keluarga ibu ada di ruang tunggu, di ruang Unit Gawat Darurat. Mereka di sana. Sebelah kiri, jalan terus sampai ada pintu tulisan UGD.”
“Baik. Makasih, Teh.” Laras segera pergi. Setelah berpamitan, Laras langsung menuju tempat yang diarahkan perempuan berpakaian serba hijau putih itu.
Langkah Laras ragu. Pelan dan agak berhati-hati. Di sepanjang lorong perempuan itu tampak khawatir. Mungkin karena ucapannya pada Dita di mobil tadi. Masih banyak rahasia yang Laras pendam. Bukan hanya pada sahabatnya itu, tetapi juga pada semua orang. Hanya segelintir orang tahu, itu pun masih kerabatnya. Rahasia masa lalu yang terus berkelindan di pikirannya. Sudah tiga tahun sejak dia bertemu Dita kembali di Bandung, tetapi dia belum mau mengungkapkan kehidupannya setelah perpisahan mereka di SMA. Rahasia yang begitu menyakitkan baginya.
Ketika Laras membuka pintu gawat darurat, dia melihat dua orang pria berjaket hitam dengan celana panjang berwarna cokelat serta sepatu pantofel yang dia tahu adalah polisi. Dia ragu untuk mendekat pada beberapa orang yang sedang terduduk di pintu menuju ruang bangsal. Maka dari itu, Laras memutuskan duduk di kursi yang agak jauh dari mereka.
Tak lama kemudian, seorang pria yang bersama polisi itu berjalan ke arah pintu keluar ruang UGD melewati Laras. Dia hanya bisa melihat pria itu pergi. Dia yakin pria itu adalah kerabat sang korban. Namun, perempuan itu masih ragu bahkan untuk menyapa dan memperkenalkan diri.