Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #4

Bagian 3

Seperti biasanya, sepulang dari tempat kerja pada pukul 4 sore, Feri akan pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang akan dia masak untuk makan malam dan sarapan esok hari. Sedangkan makan siang, dia akan membeli di kantin, begitu juga anaknya yang sudah dibekali uang agar pergi ke warung tegal untuk makan di sana atau membungkusnya dan makan di rumah. Sungguh sebenarnya, Feri merasa kasihan kepada Nadia yang harus tinggal sendirian di rumah tanpanya. Hanya pada hari minggu atau hari liburlah dia bisa menemani anaknya. Itu juga yang membuat Feri terkadang bolos kerja.

Dia hidup bersama Nadia, berdua saja di rumah sederhana yang dibangunnya dari gajinya selama hampir sepuluh tahun ini, di sebidang tanah warisan orang tuanya yang tidak seberapa luas. Dahulu, setelah menikahi ibunya Nadia, Feri memutuskan mengontrak jauh dari rumah orang tua karena mereka sebenarnya tidak suka pada istrinya itu yang seorang pemandu karaoke. Feri, Lastri, dan Nadia yang masih bayi hidup bersama dalam kontrakan kecil.

Masalah demi masalah pun terjadi. Lastri tidak mau berhenti bekerja di tempat karaoke padahal Feri sudah melarangnya. Meski sempat berhenti, Lastri terkadang pergi tanpa sepengetahuan Feri, menelantarkan anaknya yang waktu itu masih balita. Hingga, Lastri yang waktu itu masih berusia balasan tahun memutuskan untuk benar-benar pergi karena tidak tahan dengan kehidupan miskinnya, dan ingin menjalani profesinya kembali sebagai pemandu karaoke. Hasrat darah mudanya masih bergejolak untuk menikmati dunia, bersenang-senang bersama teman-temannya sesama LC. Bahkan tak jarang dia menemani lelaki lain di luar pekerjaannya.

Motor matic yang warnanya sudah pudar itu berhenti di area parkiran pasar. Setelah mengunci helm di bagian dalam bagasi jok, dia kemudian masuk ke dalam sana, menembus ramainya orang-orang yang juga sedang berbelanja sore itu. Pria itu intens menelusuri lorong-lorong pasar di antara lalu lalang, fokus mencari-cari bahan makanan yang dibutuhkan. Beberapa pedagang yang sudah mengenalnya tampak menawarinya, dia menyahutnya ramah sambil menolak atau mampir membeli jika memang butuh.

Satu jam berlalu, akhirnya Feri menyudahi pencariannya setelah dirasa cukup. Dia berjalan menelusuri tepi-tepi pinggiran area pasar agar cepat tembus menuju tempat parkiran. Saat melangkah, dia memperhatikan barang-barang berupa kebutuhan rumah seperti pemotong kuku, lem, atau berbagai macam gunting yang dihampar begitu saja oleh pedagang di atas terpal. Termasuk juga racun tikus yang membuat Feri akhirnya berdiri di lapak tersebut.

“Cari apa, Pak?” tanya si pedagang.

Feri tak langsung menjawab. Dia hanya melihat-lihat. Sebelum akhirnya dia pergi tanpa membeli apa-apa dari pedagang itu yang membuatnya memandang heran kepergian Feri.


***


Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore lebih lima belas menit, ketika suara motor milik Feri tiba di halaman rumah. Setelah memarkirkan motor di teras yang sempit, pria itu kemudian masuk dengan dua kantong keresek di tangan.

“Assalamualaikum,” ucap Feri.

“Waalaikumsalam. Ayah.” Nadia yang sedang berada di meja makan dengan kertas gambar di hadapannya menyahut salam.

Feri kemudian menuju dapur untuk menyimpan dua keresek itu dan kembali beberapa detik kemudian, lalu menghampiri anaknya yang sedang sibuk menggambar.

“Kamu lagi menggambar apa, Nad?” tanya Feri sambil beranjak duduk di kursi seberang meja. Terdengar suara embusan nafas disertai erangan kecil darinya yang seolah berapa nikmat akhirnya bisa duduk bersama anaknya.

Nadia kemudian menunjukkan hasil gambarnya dengan memutar kertas itu agar ayahnya bisa melihat dengan jelas. “Nadia gambar teman-teman Nadia, Pak.”

“Teman?” Feri sempat mengangkat kedua alisnya lalu mengangkat punggung dari sandaran kursi untuk melihat lebih dekat.

Lihat selengkapnya